Koran TEMPO, 30 April 2006
Kegundahan Manusia Metropolis
Judul Fight Club
Penulis Chuck Palahniuk
Penerjemah Budi Warsito
Isi 285 hlm.
Penerbit Jalasutra, 2006
Sastra adalah dunia imajinasi. Tapi tak ada karya sastra paling imajiner yang sanggup memiliki wilayah otonomi mutlak, subjektif, bahkan tiada sangkut pautnya dengan individu atau kalangan tertentu seperti perkataan Adolfo Sanchez Vasquez “sastra lahir dalam kekinian dan kedisinian yang konkret” (Art and Society, Merlin Press, London, 1973). Memang Vasquez dalam buku tersebut menuliskan pandangannya tentang seni (dalam konteks ini adalah sastra) dari kacamata Marxisme. Namun ada satu hal yang mewakili pandangan manapun: karya sastra tak mungkin lahir dari ruang kosong.
Kira-kira seperti itulah novel debutan Charles Michael Palahniuk atau Chuck Palahniuk ini lahir. Alumnus jurnalistik Universitas Oregon yang aktif sebagai jurnalis lepas ini lahir memotret sisi gelap sosok manusia kota di tengah generasi yang terjerumus modernisme semu. Tanda zaman yang seolah-olah baik adanya tapi karena pergerakan yang cepat, kejujuran dan sisi manusiawi menjadi hilang maknanya.
Fight Club (selanjutnya disebut FC) mengisahkan “aku” seorang pegawai biasa yang jenuh dengan rutinitas. Untuk mengalihkan kebosanan ia tiap malam masuk support group atau sharing problem orang-orang dengan masalah kesehatan. Semula keinginannya masuk grup untuk mengalihkan penyakit insomnia-nya. Berbagai obat dan cara tak berhasil. Sang dokter (yang mungkin juga sudah kehabisan akal) menyarankan untuk mengetahui seperti apa itu rasa sakit dengan melihat, misalnya, rasa sakit penderita kanker otak. Maka, masuklah “aku” ke berbagai support group. Misalnya hari Jumat ia mengikuti grup penderita tuberkulosis, hari Rabu tumor kulit, dan Senin penyakit leukemia. Keasyikannya mengikuti berbagai grup itu menemuinya pada kebohongan. Berkali-kali ia menjumpai cerita dalam support group itu ternyata hanya isapan jempol, bahkan dilebih-lebihkan. Tak hanya itu, ia menemui Marla, seorang cewek yang juga gemar mengikuti berbagai support group hadir berkali-kali dengan nama lain, persis seperti “aku”.
“Aku” kemudian menjumpai Tyler yang sepertinya memberi solusi daripada tiap hari menyaksikan kebohongan: mengikuti ada tinju rahasia (fight club). Dalam grup ini tak ada kebohongan: pokoknya bertarung, lepaskan seluruh beban dalam otak! Aturannya mudah, jangan cerita kepada siapapun tentang grup ini. Sebuah keputusan yang edan memang. Bahkan ketika di pagi harinya di kantor, walau dengan wajah babak belur, “aku” lama-lama merasa nyaman. Cerita makin berkembang dengan kejenuhan “aku” dalam grup ketika setelah mengikuti FC begitu banyak orang-orang dalam kehidupan biasa (setidaknya menurut “aku”) ternyata juga anggota FC. Ia heran, bukankah ada aturan tak boleh membicarakan adu tinju gelap ini dengan siapapun? “Aku” kembali gelisah dan sulit memercayai kebenaran lagi. Sosok Tyler menawarkan hal lain, membuat sabun dari lemak manusia dan mengajaknya dalam grup Project Mayhem.
Chuck memang lihai mengolah FC. Memang dalam FC tak ditemui penjelasan latar belakang siapa “aku” karena alur novel ini bergerak maju terus. Tapi, kelihaiannya mengolah FC membuat pembaca tak merasa perlu mengutak-atik siapa “aku” sehingga dapat menghanyutkan kita kepada peristiwa-peristiwa menggetarkan. Uniknya, penggambaran secara detail setting cerita pun jadi tak begitu penting karena dari novel ini terbetik suasana gelisah serta muram dalam kalimat yang singkat.
Sangat jelas aroma eksistensialisme ada di sini meski tanpa metafora karena Chuck adalah tipe penulis tanpa narasi yang berlarat-larat. Tengoklah kalimat (h.81): “Di Hotel Pressman, jika kau bisa bekerja malam hari akan menyulut kebencianmu pada masalah kasta,” kata Tyler. Yeah, kataku, terserahlah. “Mereka membuatmu memakai dasi kupu-kupu, kemeja putih, dan celana panjang hitam,” Dari kalimat berikut sudah tersirat anggapan sinis Tyler kepada kesibukan kota yang mengharuskan menjadi orang lain, bukan diri sendiri, juga strata sosial tak mengenakkan bekerja di hotel. Dan lebih gilanya lagi, di akhir novel kita bakal kaget menemui ending bahwa tokoh “aku” sebagai manifestasi sisi gelap manusia metropolis itu mengalami krisis identitas yang parah, “penyakit” lebih parah ketimbang “main-main” atau insomnia saja: ada sosok lain dalam dirinya!
Kegundahan FC yang naskah aslinya semula berjudul Insomnia: If You Lived Here, You'd Be Home Already memang beda misalnya jika kita membandingkan dengan tokoh yang diperankan Robert de Niro dalam film Taxi Driver, keedanan di balik wajah malaikat dalam film 8MM, novel Catcher in The Rye, American Psycho, atau Vernon God Little walau dalam karya-karya tersebut tersimpan ironi tokoh sejenis: kegundahan manusia metropolis. Kalau rata-rata mereka nyaris berputar hanya pada konflik pribadi atas ketidakpuasannya menghadapi semacam pranata sosial yang mapan, dalam FC, kegundahan tersebut seolah-olah berhasil menemui solusinya.
Meski kegilaan FC bisa jadi dilebih-lebihkan sebagai syarat memikatnya sebuah fiksi, Chuck menemukan kemungkinan tak dikatakan bahwa dalam pergerakan kota yang mapan tetap ada simbol kegelisahan, orang-orang yang kalah atau terperosok untuk menjadi “yang lain”, sebuah manifestasi bahwa manusia dalam kodratnya sebagai homo ludens- pribadi yang suka bermain-main- bisa terjebak pada kodratnya sendiri: menjadi korban dengan terbelenggu pada permainannya atau statis setelah menemukan sesuatu yang menyamankan dirinya. Tokoh Tyler, Marla, dan “aku” dalam FC menyiratkan hal pertama yaitu selain tenggelam dalam kegundahan tak bertepi, ia seperti terangsang menjadi liar, banal, bahkan subversif dalam tatanan hidup yang mapan.
Penerjemahan FC cukup baik. Alur novel yang cepat berhasil dihadirkan dengan lancar walau terbitan edisi bahasa Indonesianya terbilang telat. Filmnya (produksi 1999 oleh sineas David Fincher) yang juga tak kalah kuat dengan novelnya ini bahkan sempat beredar di Indonesia enam tahun lalu.*
Features - The Jakarta Post, February 12, 2006
Tale of Aceh after the storm
Meutia Sudah Henti Bertanya (Meutia Has Stopped Asking)
Written by T.I. Thamrin
Foreword by Otto Syamsuddin Ishak
Published by Imparsial & AWG(Aceh Working Group), 2005, 155 pp.
There was a time when you talked about literature in Indonesia and got to Aceh, you would usually come to the conclusion that Aceh, although it had its own poets, did not have writers of prose.Indonesian literary buffs were then familiar with senior Acehnese poet, LK Ara, who is still writing poems even today or perhaps, with Fikar W. Eda, of the younger generation of
Aceh's poets. However, this no longer held true after a short story collection titled Perempuan Pala (Pala Women) by Azhari, a short story writer and also a student at Syah Kuala University in Aceh's capital of Banda Aceh, was published by AKY Press in 2004. Today, the literary scene of Aceh has welcomed the emergence of another Acehnese writer, T.I. Thamrin (born in Langsa, East Aceh on Aug. 12, 1936), whose maiden short story collection, Meutia Sudah Henti Bertanya, has just seen the light of day.
There are 17 short stories in this collection, written between the 1970s and 2005. Meutia is a highly touching short story. It is the story of a five-year old girl who finds it difficult to accept the fact that she has lost her father for good. Meutia's father was jailed because he was found to be carrying something left to him by a secessionist Free Aceh Movement member. He died in prison. Meutia's mother has remarried but Meutia cannot accept her stepfather, whom she addresses as "Uncle" although he has done his best to take good care of Meutia and her mother. At the end of the story, Meutia, who was caught in heavy rain, is found sick in front of her father's grave. This story successfully stirs the reader's feelings although the political turmoil in Aceh serves as only the setting. The story subtly conveys the bitterness of a family who has lost one of its members because of the turmoil brought about by the Free Aceh Movement. While Azhari is noted for his narrative style (like in his stories Ikan dari Langit (Fish from the Sky), Pengunjung (Visitor) and Di Dua Mata (In Both Eyes), Thamrin satisfies his readers with the realism of his narrative style and varied themes so that the stories in this collection are not defined by the turmoil in Aceh as their setting, a theme generally expected by readers from outside Aceh.
Take, for example, his story titled Parut Luka (Scar of a Wound, p. 61) about two convicts, Oom Andy and Lexy. Lexy tells a fellow inmate his past as a child whose father died after being tortured by Dutch colonial soldiers. Following the death of his father, his mother was forced to surrender her body to Dance, a Dutch soldier. Then Dance seduced Nella, Lexy's younger sister. One day while Dance was seducing Nella, Lexy saw the opportunity to shoot Dance. Unfortunately, the bullet inadvertently hit his own mother. Lexy was incarcerated and was tortured in such a way that his sexual organs no longer function.
In another short story, Agam (p. 25), the short story writer talks about an Acehnese child born to a Javanese transmigrant mother in Aceh. The story tells us about the hardship Agam experienced living in Jakarta. After the death of his father, his mother worked at Klender market and saved enough money to rent an illegal hut by the side of a railway line. Despite his extreme poverty, Agam was so determined to go to school that he ended up selling hashish.
Luckily, he met Abucek, a vegetable supplier noted for his readiness to help other people. Thanks to Abucek, Agam later abandoned his job selling hashish.
This particular short story is interesting in that it demonstrates the spirit of struggle of marginalized people who wish to lead a good life despite the temptation of the more lucrative, illegal means. Unfortunately, the story ends abruptly so that the dramatic event in the story comes to the reader only in a flash, for example when Abucek hints to Agam that when an Acehnese looks a little rich, people will say that he must be selling hashish. This scene is interesting as many in our community, particularly urban people, still have this belief about the Acehnese. That's why this story is considered one of his best, aside from Meutia Sudah Henti Bertanya and Parut Luka.
It is obvious that Thamrin, who usually writes stories for newspapers and therefore has to come to terms with limited space, has yet to free himself from this limitation as is evident from the fact that most of his stories contain only flashes of events and therefore do not quite impress the reader. As a result, despite the variety of themes in his stories -- not all of the stories in this collection are about Aceh; Bidadari Pesek Flat-Nosed Angel, for example, is about a flat-nosed girl's inferiority complex -- Thamrin's stories generally do not leave an indelible impression on the reader.
If you read his stories you cannot but conclude that Thamrin, who has a journalistic background, has consciously opted for the path of realism in writing his stories and usually features the struggle of marginalized people. Unfortunately, at the same time you cannot but get the impression that he is almost simply transferring his journalistic observation of events into short stories. In fact, there are quite a lot of excellent prose writers in Indonesia's contemporary literature. Pramoedya Ananta Toer's works are rich in historical values and deserve to be categorized as historical fiction. Another writer, Martin Aleida also has a journalistic background like Thamrin is able to charm his readers with his impressive narration.
Regardless of its shortcomings, Meutia, as a collection of short stories, has successfully featured an amazing historical wealth. While Azhari can charm his readers with the combination of his tale-telling instinct and the setting of Aceh in political turmoil, Thamrin is skilled in telling stories imbued with an internal spirit of turmoil, the result of not only an external observation but also an experience of a depressed mind like in the story titled Lukamu Abadi, Za (Your Wound is Eternal, Za). Mirza, who is only a child, has the courage to fight barbarous soldiers. Without carrying any weapons, Za jumps at a barbarous commander who is going to rape his mother.
***
It may be too much to expect a new experiment of sorts from the writers of Thamrin's generation or from authors from the same school of writing as Thamrin and hope that they will produce more closely-knitted stories. However the publication of Thamrin's short story collection is really encouraging as it shows that Aceh, which is generally known as a conflict-prone region, has in fact enriched Indonesia's literary arena. The varied themes of the stories have made the writer all the richer creatively although the book has been published more out of solidarity for Aceh in an effort to lift the region out of a political abyss and put it back on its feet after the devastation wrought by the tsunami. As the varied themes that are found in Thamrin's short story collection are reminiscent of Odah (Shalahuddin Press, 1986) a collection of stories by Mohammad Diponegoro, we may as well hope that this book will not be his first or his last.
The writer, born under the name of Teuku Iskandar Ali bin Sabil and usually called Iskandar, is indeed not a novice in the Indonesian literary scene. In the early 1970s his stories were published in Kompas and Sinar Harapan. As he was busy as a reporter (he used to be a reporter for Tempo and Matra), he wrote his stories under a pen name. That's why although he won first prize in Gonjong II a short story writing contest in 2000, his name is virtually unknown.
Even when Kompas daily published Dua Kelamin bagi Midin: Cerpen Kompas Pilihan 1970 - 1980 (Two Sexes for Midin: Selected Short Stories published in Kompas from 1970 to 1980), published by Kompas in 2003 with Seno Gumira Ajidarma as the editor and foreword writer, in which his short story Hidung Pesek Seorang Bidadari (Flat Nose of an Angel) is also included, (also in Meutia under the title Bidadari Pesek) there is no information about who the writer of this story really is.
While poet D. Zamawi Imron writes Aceh Mendesah Dalam Nafasku (Aceh is sighing in my breath) in his 1999 poem, after reading Thamrin's short story collection we may echo similarly, Aceh mendesah dalam prosa (Aceh is sighing in prose) thanks to the writer's acute response to social problems. Thamrin proves that there are still many obscure things in our literature so that many good writers as well as good literary works have escaped the attention of literary critics and the mass media as they are usually charmed by writers' biographical aspects instead of concentrating on analyzing their work and pointing out the textual satisfaction to be derived from these works.
Aksara, edisi 5/Oktober-November 2005
Ketika Kritik Tak Perlu Lagi
Dalam sebuah perbincangan santai sore hari di kedai TIM, Jakarta sastrawan Martin Aleida berujar, "Kritikus sudah mati!". Saya dan penyair Sides Sudyarto DS yang hadir di situ mesem-mesem saja. "Bagaimana mungkin setiap karya dibaca satu per satu untuk dikritik?" tambahnya. Ujarannya bukan tanpa alasan. Celetukan penulis Leontin Dewangga ini muncul setelah melihat begitu banyaknya karya sastra yang diterbitkan belakangan ini.
Sebuah pertemuan lain di ruang perpustakaan Diknas, Firman Venayaksa, seorang penulis muda berujar, "Wah, sekarang ini gue udah nggak ngeritik-ngeritik lagi. Yang penting berkarya sajalah!" ucapnya kepada saya setelah ia tahu buku pertama saya yang baru terbit setahun lalu adalah esai kritik sastra. Adapun Firman yang saya kenal adalah penulis muda yang produktif. Beberapa esai kritisnya tentang sastra dan kebudayaan nongol di situs Internet, selain menulis puisi, cerpen, dan novel.
Dalam sebuah pertemuan lain di ajang Pesta Buku Jakarta di Senayan belum lama ini, Ekky Al-Malaky, salah seorang aktivis komunitas FLP (Forum Lingkar Pena) mengundang saya berdiskusi membicarakan masa depan FLP pasca kepemimpinan Helvy Tiana Rosa. Dalam diskusi tersebut saya diminta pendapat singkat hal ihwal pertumbuhan sastra Islami yang sudah dimotori FLP. Dari diskusi kecil tersebut saya mengetahui dirinya dipilih menjadi koordinator divisi kritik sastra dalam komunitas yang diikutinya.
Sebagai kawan sesama penulis dan juga pembaca, notabene saya menyambut gembira ada divisi baru yang konon sampai kini masih diemohi kaum sastrawan, terutama para pekerjanya (baca: kreator). FLP sebagai sebuah komunitas yang dalam dua-tiga tahun belakangan ini produk-produknya mendominasi pasar buku fiksi Indonesia, khususnya genre sastra Islami (mohon diingat saya menyebutnya ‘genre sastra’ bukan serta merta bermaksud menggolongkannya sebagai bagian genre yang adiluhung itu, melainkan sebagai produk bacaan seperti halnya chick lit, teen lit sampai sastra realis, surealis dalam ranah sastra kontemporer-pen) mulai mengembangkan diri sehingga tak hanya sekedar memotivasi orang untuk menulis, melainkan juga mulai menyuburkan sisi lain pertumbuhan sastra yang cenderung terpinggirkan, yaitu kritik sastra itu sendiri.
***
Bicara soal kritik sastra di negeri ini sebetulnya gampang-gampang sulit. Gampangnya, perkembangan kritik sastra sudah menjalar di kalangan sastrawannya sendiri sehingga posisi pengamat tak melulu menggantungkan diri pada kritikus senior yang berasal dari kalangan akademis. Sulitnya, harus kita akui juga mutu kritik yang ada banyak juga kurang berpijak pada teori sehingga penyair cum esais Saut Situmorang berseru dengan lantang "Quo Vadis Kritik Sastra" tiga tahun lalu di harian Kompas.
Terlepas dari rendahnya mutu kritik itu sendiri, harus kita akui juga dalam pembacaan sastra dewasa kini tak banyak pula yang mengkajinya sebagai kenikmatan tekstual. Kritik dan kajian memang ada walau sayangnya seperti halnya riset dalam sebuah perusahaan, ia kemudian hanya dipandang sebagai paria sehingga para sastrawannya emoh dan enggan terhadap kritik. Ia menjadi hantu lantaran di dalam kritik muncul asumsi seorang hakim yang kejam mengetuk palu dengan keras tanpa ampun dan tak peduli betapa kerasnya perjuangan sang kreator dalam mencipta. Kritik sastra memang ada dan makin berkembang walau akhirnya dalam tataran tertentu posisinya lantas “terjerembab” sebagai dekor di bagian pemasaran buku sebagai “penglaris”.
Baiklah, kritik adalah hantu menakutkan dalam pertumbuhan kepenulisan kreatif. Dalam narasi besar pun buku-buku telaah pun kemudian seperti halnya puisi sulit menembus angka penjualan mengagumkan dibandingkan dengan penerbitan antologi cerpen atawa novel. Sedangkan dalam narasi kecil, seperti ujaran Firman yang kemudian memilih jadi kreator saja lantaran “ngeri” sendiri jadi kritikus makin menyuburkan pendapat bahwa memang kritik tak diperlukan lagi.
Baiklah, kritikus sudah mati. Perkembangan cerpen dan karya kreatif lainnya lebih pantas berada di tangan redaktur dan editor koran, majalah, jurnal, dan penerbitan lainnya berbasis sastra. Baiklah, lebih baik berkarya sajalah, daripada mengeritik. Tapi bukankah kritik itu juga adalah karya dalam ranah kajian? Baiklah, kalau memang kritik sudah tak diperlukan apakah kita lantas berpuas diri melihat begitu banyaknya karya sastra diterbitkan? Baiklah, penerbitan novel pasca Ayu Utami dengan Saman-nya kemudian melahirkan sekian banyak epigon penulis perempuan yang tak malu-malu lagi membicarakan problem seksual, terutama yang mengacu kepada pribadinya.
Baiklah, problem seksual dewasa ini mulai muncul dari perempuannya sendiri sebagai subyek, tak lagi didominasi para penulis pria sampai Sapardi Djoko Damono setelah – barangkali suntuk- meneliti begitu banyak karya yang masuk dalam lomba penulisan novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pernah menulis, “masa depan sastra Indonesia ada di tangan perempuan karena lelaki bodoh dan malas membaca.”
Ironis, memang lantaran akibatnya seperti dua sisi mata uang. Jikalau kritik tak perlu lagi benarkah ia terus dipandang sebagai anasir penghambat demokratisasi sastra? Padahal harus kita akui juga, tatkala begitu banyaknya buku sastra diterbitkan hasilnya cenderung seragam sehingga tak menggerakkan untuk dikaji. Sedangkan ketika sastra lokal tiba-tiba laku dan menggiring banyak orang tergerak menerbitkannya harus kita akui pula hasilnya lebih banyak terjerembab pada kepenulisan fiksi populer.
Baiklah, “melenceng” kepada jalur kepenulisan populer juga tak salah. Sah-sah saja pelbagai hal dalam konteks mempermainkan berjuta kemungkinan itu dilakukan. Kalau hasil karya yang ada masing-masing belum berhasil secara cerdas dan menukik hingga mampu meretas batas antara fiksi pop dalam konteks kelancaran berkisah dengan sastra yang riuh dengan imaji dan metafora bagaimana mungkin jua bisa melahirkan kritik sastra yang baik?
T.S Eliot dalam esainya Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood, London:Methuen&Co, 1960) berseru, “kritik yang jujur dan apresiatif diarahkan bukan kepada penyair tetapi pada sajaknya. Jika kita memperhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang mendapatkannya,”
Seruan Eliot tersebut sampai kinilah yang masih terdengar dalam dunia sastra kita. Padahal jika dicermati bagaimana kritik sastra itu sendiri bisa tumbuh sedangkan karya-karya yang ada tak terdapat jouissance kenikmatan tekstual yang muncul dengan makna dan eksplorasi bentuk sampai ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya ada dalam teks sastra?
Jika benar kritik sastra tak perlu lagi, tiba-tiba saya jadi curiga apakah setelah berkembangnya demokratisasi di negeri ini yang muncul di benak kita hanyalah “menulis itu gampang”? Kalau benar “menulis itu gampang” bukankah hal tersebut hanya terjadi pada penulis yang kebetulan punya segudang previllege kemudahan mempublikasikan karyanya?
Baiklah, “menulis itu gampang” dan “kritik sudah mati” sehingga buat apalah kritik itu. Kritikus hanyalah “mainan” orang yang gagal jadi sastrawan sesungguhnya sehingga ia berlagak “sok pintar”, demikian anggapan umum yang menggejala.
Tapi bukankah dengan berkembangnya anggapan seperti itu justru menyempitkan pandangan bahwa kita sendiri sesungguhnya malas pula menjadi pembaca? Mochtar Lubis dalam buku Sastra dan Teknik-nya (Kurnia Esa, 1985) memaparkan salah satu kiat penting yang sialnya cenderung tak diperhatikan sastrawan muda, “setelah menulis bacalah seolah karya itu karya orang lain.” Lebih lanjut, Mohammad Diponegoro yang dijuluki “insinyur cerpen” pernah berujar dengan nada filsofis “fiksi terbaik tak pernah ditulis”.
Pertanyaan mengusik, jikalau benar kritik sudah mati dan tak perlu lagi karena begitu banyaknya karya sastra diterbitkan sudahkah karya-karya yang dihasilkan sudah mencapai batas “kegagalan indah” seperti yang pernah dilontarkan William Faulkner? Atau sudahkah kritik sastra itu sendiri sudah punya arti sebagai medium seni antara seniman-pembaca yang bernilai di tengah posisi sastra yang kemudian diletakkan sebagai posisi kontruksi sosial dalam posisi high culture bukan secara alamiah?
Syir’ah, No.33/IV/Agustus 2004
Sosok Kontroversi Itu Adalah Jassin
Telah banyak kita ketahui bersama dalam sejarah kesusastraan Indonesia sosok H.B Jassin mengukir dinamika sastra dalam periodisasi yang disusunnya, di samping namanya dimitoskan sebagai Paus Sastra Indonesia. 4 tahun kepergian Jassin kritik sastra memang tumbuh dan berkembang. Penyair F. Rahardi dalam Kompas, 23 April 2000 menyebut kondisi ini justru sangat sehat. Dampak positifnya menurut F. Rahardi adalah tiada lagi figur tunggal yang dimitoskan sehingga membuat sastrawan kelak tumbuh sendiri secara alamiah untuk mendapatkan pengakuan.
Di tengah puja-pujinya sebagai pembaptis banyak sastrawan tak urung pelbagai kontroversi juga menyelimuti kehidupan Jassin sebagai Paus. Ketekunannya menjadi dokumentator sastra yang punya apresiasi besar pada teks-teks puisi penyair muda Chairil Anwar yang sempat dituduh jiplakan, pembelaan kasus karya Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai jiplakan, keputusan membela mati-matian Kipandjikusmin sosok pengarang misterius atas diprotesnya cerpen Langit Makin Mendung (LMM) dan perhatiannya pada terjemahan Al Quran menjadi modern dan bernuansa sastrawi adalah sosoknya yang penuh kontroversi.
Perhatiannya sebagai kritikus toh juga tak luput dari kontroversi. Kritik-kritik yang ditulisnya menurut A. Teeuw tidak menerbitkan gagasan pokok selain tak mendeklarasikan prinsip-prinsip kritik sastra. Kritik A. Teeuw ini bisa dibaca dalam Modern Indonesia Literature II. A. Teeuw menulis, kritik Jassin tidak pernah published any fundamental ideas dan not declaration of principles of critism. Teeuw benar sehingga secara tak langsung ia menyatakan ihwal kritik Jassin mirip pula dengan kondisi kritik sastra di zaman sekarang yang kebanyakan kurang berpijak pada teori.
Dampak negatif yang "diwariskan" Jassin jika kita mengacu pada A. Teeuw adalah pengertian kritik apresiatif hanya diterjemahkan sebagai sekadar jembatan yang berusaha menuntun pembaca sastra, bukan kritik tajam yang seimbang antara pujian sekaligus membuka kelemahan pengarang.
Budi Darma dalam Bukan Sekadar Monumen, H.B Jassin 70 Tahun yang diterbitkan Gramedia, 1987 menulis, "Memang Jassin kritikus alam dan sekaligus alergi dalam menggunakan otak semata dalam menghadapi karya sastra. Tapi Jassin adalah Jassin: dia tidak dapat membebaskan diri dari hasrat mendokumentsi untuk meneliti dan mendidik yang memang sejalan dengan debar naluriah kritikus pada umumnya…"
Pramoedya Ananta Toer dalam wawancaranya dengan Tempo, 10 Mei 1999 menyebut Jassin sebagai gurunya yang sudah ia tinggalkan, "Dia guru saya yang mengajarkan humanisme universal. Lantas ada penindasan terhadap minoritas Tionghoa, dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang dia diam saja,"
Tetapi apalah artinya "diam"? Mungkin seperti pernah dilansir Radhar Panca Dahana memang melulu dusta, jika sastra diidealisasi atau diharapkan mampu berperan sebagai pemicu gerakan sosial, pembebas, perubahan, apalagi sebuah revolusi. Jadi, wajarlah sosok bernama Jassin itu sempat mengecewakan Pram. Suara, bahkan risalah protes yang keras seperti halnya sastra tak pernah cukup kuat walau ia menjadi potret atas dinamika kehidupan suatu bangsa yang sedang carut marut atau penuh pergolakan.
Sastra menurut Jassin adalah suara hati dan karena itu harus ditanggapi dengan hati pula, walau pada akhirnya juga menyelipkan ketidaktimpangan yang sayangnya berlanjut pada kritik sastra pasca Jassin : yaitu melepaskan kritik sastra dari teori.
***
Sosok Jassin yang penuh kontroversi di luar jasa-jasanya sebagai dokumentator atas dedikasinya di bidang sastra memang panjang. Jassin yang rendah hati walau statusnya sebagai Paus juga membuat dirinya dicaci maki karena perhatian sastra pada zamannya melulu pada pusat, kelebihannya ternyata tak sampai diteruskan generasi berikutnya. Sosoknya sebagai penerjemah menurut Ali Audah dalam Perjalanan Menatap Sastra Dunia (makalah seminar tentang Asrul Sani dan H.B Jassin Artinya Bagi Sekarang di TIM, 8-9 November 1997) jarang disebut.
Sosoknya sebagai penerjemah yang dengan kata lain adalah sosok pembaca yang baik nyaris tenggelam dibandingkan figurnya sebagai pembaptis sastrawan Indonesia. Konon, terjemahan Jassin yang pertama adalah Chushingura (1945) karya Sakae Shioya yang ia kerjakan bersama A. Karim Halim.
Kelebihannya sebagai sosok pembaca yang baik sayangnya tak diteruskan banyak penulis di zaman sekarang sehingga wajarlah dinamika kehidupan sastra pasca Jassin masih terbentur pada ketimpangan yang tidak semestinya. Mungkin Jassin sempat mewariskan "dosa" sastra Indonesia dengan menghasilkan kritik-kritik sastra yang lunak dan tidak kritis karena tak berpijak pada teori. Namun ketekunannya sebagai pembaca tak diteruskan di zaman kini dengan menghasilkan banyak penulis sastra kita yang pernah dilansir Subagyo Sastrowardoyo menulis tanpa diimbangi bakat alam dan intelektual.
Jassin memang tak banyak menulis karya puisi dan cerpen setelah ia lebih memilih menjadi "tukang kebun sastra" (meminjam istilah Asrul Sani di Gatra, Nomor 19, 25 Maret 2000). Namun berbekal ketekunannya sebagai penerjemah (yang sempat juga mengundang kontroversi umat Islam dengan menerjemahkan Al Quran ke dalam bentuk puisi) ia telah membuktikan bahwa karya yang baik haruslah seimbang antara bakat alam dan intelektual.
Barangkali tatkala karya-karya sastra kita tak lagi menunjukkan kekuatan yang menarik Jassin, ia memilih menerjemahkan saja karena dengan menerjemahkan selain intelektualitasnya lebih terpacu pada bacaan yang baik, secara tak langsung ia telah menunjukkan kepada kita bahwa karya yang baik adalah karya yang tak lepas dari sejarah.
Karya yang baik peduli dengan sejarah sastra dengan menghasilkan karya yang selain kaya eksperimen juga tak luput dari riset dan kaidah pengisahan yang enak dibaca. Bukan karya yang sekali jadi langsung buru-buru ditahbiskan sebagai "pembaharu". Jassin memang menjadi "dosa" juga lantaran posisinya sebagai Paus perhatiannya hanya pada karya-karya yang dipublikasikan di Jakarta (baca: pusat). Tapi apalah artinya kalau perilaku demikan toh juga diikuti kebanyakan pemawas sastra kita di zaman yang konon demokratisasi sastranya sedang berjalan? Bukankah "kritikus sudah mati" seperti pernah dilansir Satmoko Budi Santoso di Kompas, 8 Juni 2003 ?
***
Ribuan peristiwa berbekal jasa besarnya sebagai dokumentator dan kenangan ditinggalkan Jassin lengkap dengan pelbagai kontroversinya yang menjadi "dosa" sastra Indonesia. Kita tentunya sudah mafhum dan paham Jassin berjasa besar dalam kehidupan sastra Indonesia.
Sayangnya, jika Jassin masih hidup mungkin ia berbangga sekaligus kecewa dengan dinamika sastra kini yang ternyata kebanyakan menghasilkan sastrawan instan. Sastrawan instan tanpa kompetisi kreatif yang seleranya walau kontekstual toh cenderung seragam. Sastrawan isntan yang perhatiannya terjebak pada naluri media massa sex, violence and crime tanpa pengkisahan yang kuat. Sastrawan instan yang maunya bereksperimen namun kaidah bertuturnya meluruh bahkan masih jauh di bawah Enid Blyton sekalipun. Atau generasi sastra yang kondisinya malah menciptakan jurang antara generasi lama dan baru sehingga sulit kita menemui dua generasi ini saling berjabat erat laiknya dinamika musik pop Indonesia sekalipun. Pertemuan antar dua generasi dalam dinamika sastra memang ada walau hasilnya harus diakui malah memunculkan legitimasi kepengarangan yang berlebihan, bukan pertemuan kreatif.
Ya, Jassin telah mewariskan kelebihan dan kekurangannya dalam sejarah sastra Indonesia. Memang benar kebesaran Jassin sudah lewat. Tapi hal demikian tak disadari akibat kita melupakan sejarah. Sejarah sastra dianggap hanya potret kuno dan tulang-tulang berserakan yang harus ditinggalkan, bukan sebagai cerminan menyongsong masa depan sastra yang lebih cerah.
Sejarah kepengarangan masa lalu memang harus didobrak bukan dilupakan akibat sikap pemawas sastra kita yang sudah pikun, apalagi tekun.
Rawamangun, Mei 2004
Cybersastra, Juni 2001
Ray Rizal,
Sastrawan Empat Nama
Kalau ada pertanyaan siapakah pengarang yang sering kali bergonti-ganti nama? Jawabnya adalah Ray Rizal. Penulis yang punya empat nama samaran ini (Chandra Humana, Zetra, Ray Fernandez dan terakhir Ray Rizal) terlahir dengan nama asli Djufrizal bin Zulkifli di Singkarak, Sumatera Barat 7 Februari 1955. Entah kenapa sampai saat ini sebagai cerpenis sosok Ray Rizal seperti tenggelam dibanding nama-nama cerpenis yang sejaman dengannya. Misalnya Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho bahkan sampai Satyagraha Hoerip sendiri yang pernah memasukkan salah satu cerpennya (judul Pengakuan) ke dalam buku antologi Cerita Pendek Indonesia terbitan Gramedia, 1986.
Meski terhitung tidak menonjol dibanding nama-nama diatas Ray tergolong cerpenis berciri khas dalam khasanah kesusasteraan Indonesia modern. Dalam karier kepenulisannya Ray tergolong penulis serba bisa. Ia pernah menulis dua novel anak Desaku Ermera dan Matahari Di Atas Timbunan Sampah. Kedua novel tersebut dijadikan proyek buku Inpres tahun 1984 dan 1985. Cerpen-cerpennya kebanyakan bicara tentang masalah sosial dibalut dongeng absurd, surealis bahkan horor seperti ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dalam pengantar antologi cerpen Lidah (penerbit Grafikatama Jaya, 1994). Novelnya sendiri jauh beda dengan cerpen-cerpennya, bahkan bernuansa roman (Tanah Perbatasan).
Namun dibalik kelebihannya menulis dengan beragam gaya menurut Sapardi dongeng dan mimpi dalam cerpennya kurang dalam. Akibatnya kadar sentimentalitasnya terasa seperti cerpen koran kebanyakan. Mungkinkah karena cerpen-cerpennya kebanyakan digarap seperti itu namanya jadi kurang mencuat dalam kesusastraan Indonesia modern? Bisa jadi.
Sebagai penulis Ray Rizal terbilang sangat produktif. Artikel seni budayanya banyak dimuat di Suara Karya, Horison, Suara Pembaruan dan Kompas. Dunia kepenulisan kreatif dirambahnya lewat cerpen dan novel. Selain itu ia juga menulis biografi pelukis Affandi (Affandi, Hari Sudah Tinggi). Bahkan menjelang kematiannya Ray ternyata masih meninggalkan "hutang" sejumlah delapan buku yang terdiri dari 2 biografi, kumpulan cerpen dan beberapa novel yang belum terselesaikan. Semasa hidupnya Ray juga aktif menulis artikel budaya di berbagai media di samping pekerjaan utamanya sebagai wartawan Suara Karya dan penjaga rubrik seni budaya koran mingguan Mutiara (milik grup Suara Pembaruan/Sinar Harapan).
Ray menulis semenjak remaja di Singkarak. Karya–karya awalnya berupa cerpen dan puisi dimuat di harian Singgalang dan Haluan. Sebenarnya semenjak awal ia didesak ayahnya untuk menjadi polisi (bapak Ray seorang polisi). Namun buku-buku karya STA (Sutan Takdir Alisyahbana), Hamka dan Taslim Ali ia akrabi dengan baik sehingga tekadnya memilih profesi penulis semakin bulat. Ekspresi literernya semakin menjadi-jadi setelah bergaul dekat dengan Rusli Marzuki Satria, seorang penyair Minang ternama.
Lewat nama Ray Fernandez ia memulai karirnya sebagai wartawan Suara Karya. Cerpennya yang pertama kali dimuat di media massa nasional, Pengakuan akhirnya dimasukkan dalam buku antologi Cerita Pendek Indonesia (Gramedia, 1986) dengan editor almarhum Satyagraha Hoerip. Sebagai sastrawan Ray termasuk datang dengan semangat berbeda. Ini terlihat dari gaya berceritanya yang lugas, ditunjang dengan data-data yang keras dan penyimpulan sederhana menjadi ciri khas cerpen Ray. Dalam proses kreatifnya, sastrawan Mochtar Lubis adalah figur yang berpengaruh dalam dirinya.
Pengamatannya yang kuat sebagai wartawan membuktikan keberpihakannya dengan semua kalangan di manusia terdapat di dalamnya. Tengoklah cerpennya tentang pelukis yang menusuk dadanya sendiri (cerpen Lukisan Kematian), tentang sutradara yang menembak kepalanya sendiri (cerpen Dalang), tentang pemulung yang mempertahankan tanah miliknya (cerpen Tanah Bujursangkar) atau tentang pemimpin yang banyak mulut (cerpen Lidah).
Uniknya gaya absurd maupun surealis tidak ditunjukkannya dalam novel. Novelnya Tanah Perbatasan dan Lonceng Kematian malah lebih realis, humanis dan bahkan sedikit romantis. Hal ini lumrah karena sebagai penulis novel ia merasa lebih lapang menuangkan ekspresinya ketimbang cerpen yang baginya kadang patah begitu saja di tengah atau selesai begitu saja. Oleh budayawan Radhar Panca Dahana kedua novelnya dipuji karena memiliki kekuatan pyro teknik yang membawa prosasis macam Albert Camus, Arun Joshi dan Wang Meng.
Ray yang pernah kuliah di Fakultas Filsafat Unas, Jakarta ini pernah membuat pernyataan mengejutkan para koleganya: mundur selamanya dari dunia kewartawanan. Hal ini dilakukannya karena sebagai jurnalis Ray telah mengamati kenyataan yang baginya tak cukup kuat diangkat ke media massa manapun. Media massa baginya tak leboh dari sekedar "fiksi yang diberitakan". Tentu saja pendapat ini muncul karena Ray semasa menjadi wartawan di era Orde Baru yang notabene gemar menutupi fakta. Oleh karena itu Ray memutuskan mundur total dari dunia jurnalistik dan ingin sepenuhnya menulis fiksi. Baginya kemunduran dirinya dapat memacu proses kreatif untuk tetap menulis.
Setelah keluar dari dunia jurnalis Ray semakin produktif. Ia berhasil menulis enam buah buku yang sayangnya tidak sempat terselesaikan karena Ray keburu meninggal pada tanggal tanggal 7 Januari 1997. Meninggalnya Ray sungguh mengejutkan. Ia meninggal seperti tertidur ketika menumpang sebuah taksi. Sopir taksi yang membawanya mengira Ray ketiduran dalam perjalanan.
Kematiannya mendadak persis seperti tokoh-tokoh fiksi dalam cerpennya. Bedanya ia meninggal tidak dengan akhir yang tragis. Namun sebelum dirinya meninggal nampaknya pertanda kematian itu sudah muncul. Hal ini terlihat dalam buku kumpulan cerpennya yang terakhir berjudul Mayat Yang Kembali (terbitan Balai Pustaka, 1997). Cerpen-cerpen dalam kumpulan tersebut nyaris bercerita hal-hal serupa: selalu bermuara kepada kematian. *
Karya-karya Lengkap Ray Rizal
Desaku Ermera (1984, novel anak, Proyek Buku Inpres)
Matahari Di Atas Timbunan Sampah (1985, novel anak, Proyek Buku Inpres)
Pengakuan (1986, cerpen lepas masuk antologi Cerita Pendek Indonesia terbitan Gramedia).
Lukisan Terakhir (1990, kumpulan cerpen , terbitan Pustakakarya Grafikatama)
Affandi, Hari Sudah Tinggi (1990, biografi, terbitan Metro Pos)
Dalang (1991, kumpulan cerpen, terbitan Pustakarya Grafikatama)
Tanah Perbatasan (1991, novel, terbitan Pustakarya Grafikatama)
Lonceng Kematian (1992, novel, terbitan Pustakarya Grafikatama)
Lidah/Peti Mati (1994, dua cerpen lepas masuk dalam antologi cerpen Lidah terbitan Grafikatama Jaya, kata pengantar Sapardi Djoko Damono).
Mayat Yang Kembali (1997, kumpulan cerpen, terbitan Balai Pustaka).
catatan:
* Karya-karya di atas belum termasuk dua biografi dan enam buku yang belum sempat diselesaikan.
Ray Rizal dalam Kenangan
Kiprah Ray Rizal yang kini seakan terlupakan ternyata masih menyisakan kenangan manis diantara sastrawan. Berikut ini komentar tenatng almarhum mengenai karya maupun sosok pribadinya dari beberapa sastrawan yang berhasil dihimpun Cybersastra :
Eka Budianta (penyair, aktivis lingkungan hidup) : Hubungan kami unik. Bisa dikatakan dekat juga tidak. Kalau jauh tapi kok rasanya dekat. Mungkin karena zodiak kami sama sehingga tanpa sering-sering bersua kami sering menemui kecocokan dalam mengemukakan pendapat. Ray Rizal sering menulis tentang saya meskipun dia sendiri jarang bersua dengan saya. Dia juga banyak memberikan ruang buat saya mengirimkan karya cerpen/puisi ke majalah remaja yang pernah dikelolanya. Sayang, saya sudah lupa nama majalah yang ia kelola waktu itu. Kalau nggak salah sekitar tahun 1990-an semasa saya masih berkantor di Puspa Swara.
Sapardi Djoko Damono (penyair): Ray Rizal memang salah seorang cerpenis yang kuat dan potensial. Sayangnya ia sendiri kurang produktif dan intens dalam berkarya. Inilah yang menyebabkan dirinya sendiri tidak begitu menonjol dalam dunia cerpen Indonesia.
Ibnu Wahyudi (pengajar FIB Universitas Indonesia): Sebagai cerpenis sekaligus wartawan ia produktif sehingga sifat kewartawanan yang mementingkan realitas begitu menonjol dalam cerpen-cerpennya. Namun akibatnya karya-karyanya tidak menunjukkan keunikan sehingga kurang mampu berbicara tentang siapa dirinya. Karyanya belum menemukan semacam gaya khas sehingga tidak mengangkat dirinya dibanding cerpenis lain.