Halaman blog site dokumentasi karya-karya penulis Donny Anggoro

Monday, January 30, 2006

Buku Karyaku & Preview Tulisan

Sastra yang Malas : Obrolan Sepintas Lalu



ISBN 979-668-480-2
penerbit Tiga Serangkai Solo, 2004
isi xii + 147 hlm.
harga Rp. 25.900

pembelian
Penerbit Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Jl.Dr. Supomo No.23, Solo 57141
Jawa Tengah, Indonesia
Telp. (0271) 714 344 (hunting)
tspm@tigaserangkai.com



Kata Pengantar Penerbit Sastra yang Malas

Kami memang belum banyak menerbitkan karya sastra
(bagus), tetapi nyaris setiap hari kami tetap bersinggungan
dengan—setidaknya mengikuti—hingar-bingarnya dunia sastra.
Di meja kami saja betapa naskah-naskah, baik karya sastra maupun
kajian sastra, baik dari penulis pemula maupun penulis ternama,
selalu datang untuk kami seleksi "kelayakannya" (tentu saja
menurut "standar" kami). Lalu, sesekali kami pun berjuang
menggelar event dengan menggandeng penulis-penulis sastra
(baca: sastrawan) dan mendatangi atau mengundang mereka
datang ke kantor kami untuk berdiskusi atau sekadar ngobrol sambil
makan siang. Sebut saja Taufiq Ismail, Ratna Indraswari Ibrahim,
Yanusa Nugroho, Djenar Maesa Ayu, Gola Gong, Triyanto
Triwikromo, dan sebagainya.

Dari persinggungan-persinggungan yang masih sangat
terbatas itu saja kami tidak ragu bahwa sastra adalah dunia yang
akan selalu menggairahkan, hingar-bingar, dan berjalan secara
berbanding lurus dengan kegairahan dan kehingar-bingaran itu.

Namun, tunggu dulu! Kami terhenyak ketika mendapati naskah
yang saat ini telah menjadi buku yang Anda pegang.
Keterhenyakan itu pertama kali muncul ketika kami mendapati
salah satu judul tulisan di dalamnya, yakni "Sastra yang Malas"
yang akhirnya kami pilih menjadi judul buku ini. Ah, bukankah
sastra kita sangat "giat"? Baiklah, pertanyaan itu hanya pancingan
saja, sebelum akhirnya kita akan mendapat jawaban, apabila Anda
memang turut terhenyak.

Donny Anggoro kami kenal sebagai anak muda yang "giat"
memikirkan sastra yang dia anggap "malas" itu. Simak saja tulisan-tulisannya:
rata-rata penuh dengan nada mendobrak atau Anda pun
boleh mempunyai simpulan sendiri.
Sengaja tulisan-tulisan dalam buku ini tidak kami pilah-pilah
berdasar tema atau genre yang dibahas tetapi kami urutkan berdasar
waktu pembuatan tulisan. Dengan begitu, kita bisa menyusuri issue
sastra dan perkembangannya secara utuh, tidak harus merasa
tumpang-tindih, dan runut. Sastra yang Malas Obrolan Sepintas Lalu
mudah-mudahan juga mampu menjadi teman Anda "mengobrol".

Jadi, selamat mengobrol!
Tiga Serangkai


Penerbit buku ini mengakui adanya gairah dalam dunia sastra di Tanah Air belakangan ini. Setidaknya, pihak penerbit telah berupaya mengundang para penggiat sastra seperti Taufiq Ismal, Ratna Indraswari Ibrahim, Yanusa Nugroho, Djenar Maesa Ayu, Gola Gong, atau Triyanto Triwikromo untuk datang berdiskusi ke kantor mereka. Namun, ternyata, penulis buku ini justru menuding adanya kemalasan pada dunia sastra di Tanah Air. Ini dibuktikannya dengan memperlihatkan adanya setumpuk pekerjaan rumah dalam kesusastraan yang belum tertuntaskan. Penulis buku ini adalah kontributor majalah dunia pustaka Matabaca dan editor sebuah penerbitan.-KoranTempo, 26 Desember 2004
Pujangga-pujangga besar seperti Sedah, Panuluh, Mpu Tantular, Prapanca, sampai Jules Verne, Anton Chekov, dan William Shakespeare sudah menulis karya-karya sastra yang mendapat penghargaan tinggi dari masyarakat karena nilai-nilai filosofis yang ditawarkan. Tapi mengapa sastra masih saja terpencil dari masyarakat? Terkesan menjadi produk budaya eksklusif yang dinikmati sedikit orang? Kurang mendapat perhatian dari pemerintah? Inilah sebagian topik diskusi yang disodorkan Donny Anggoro melalui bukunya "Sastra yang Malas, Obrolan Sepintas Lalu"- Majalah MALE EMPORIUM, Januari 2005

Preview Esai "Sastra yang Malas"

Berkarya untuk Siapa?

Pernah secara tidak sengaja saya bertemu kembali dengan seorang kawan lama yang selalu bertingkah seolah dia seorang populer. Setiap kami berbincang, kawan saya itu selalu merasa mengenal si A, B, C dan seterusnya yang dikenal sebagai "budayawan". Saya tersenyum geli karena saya tahu sesungguhnya adalah terbalik; budayawan yang ia sebut tadi tak benar-benar mengenalnya.

Maklum, namanya juga pamer. Ia juga dengan bangga memperlihatkan buku-buku asing yang baru dibelinya seraya bercerita kenapa dia membelinya. Saya berlaku sebagai seorang pendengar yang baik dan sekedar menghormati lawan bicara saja sehingga membiarkan dia terus nyerocos. Pembicaraan seperti itu sebenarnya menarik jika didasari pemahaman yang jelas-bahkan kalau perlu belum pernah dibicarakan siapapun juga. Saya bertahan kurang lebih selama satu jam karena saya sesungguhnya sedang ‘menangkap basah’ seorang pembohong yang berlagak ingin menjadi "budayawan".

Karena sudah demikian sering bertemu tipe-tipe orang seperti ini, lama kelamaan saya jemu dengan sikap penyombongan diri yang terlampau berlebihan. Apalagi dalam ajang diskusi budaya saya melihatnya selalu duduk di belakang, ngobrol sendiri dengan temannya. Buku-buku yang baru diperolehnya pun saya berani bertaruh sesungguhnya ia tak sungguh-sungguh perlu membacanya. Sedangkan di tempat lain, tanpa embel-embel "budaya" dia mengaku "alergi". Ia malah balik mengejek saya sebagai "orang yang tidak mempunyai sikap" ketika saya mengajaknya menonton pagelaran musik di sebuah kafe.

Selain itu ia juga mencibiri saya yang dikenalnya membaca karya Chekov, Kafka atau Budi Darma tapi membaca juga Crayon Sinchan, Hilman "Lupus" dan J.K Rowling. Begitu celotehan teman itu berhenti saya malah balik bertanya; kenapa engkau begitu senang mengkotak-kotakkan selera seperti dirimu yang paling bermutu? Padahal engkau sendiri tak paham apa arti post-modernis, eksentialis, tautalogis dan seterusnya yang sering disebut-sebut budayawan idolamu?

Bukankah engkau sendiri sering nongol ke tempat diskusi budaya dan pentas seni hanya gengsi? Bukankah lebih menguntungkan bagi saya yang kebetulan bisa menikmati Kafka dan Lupus tanpa dibebani pretensi macam-macam? Bukankah sama saja engkau berbohong pada diri sendiri?
Apakah menurutmu pembaca karya-karya Lupus itu rendah sedangkan pembaca karya Kafka itu sophisticated? Jika benar begitu bukankah sama saja engkau mengatakan rendah kepada Putu Wijaya yang menurut pengakuannya sendiri dalam buku Proses Kreatif Apa dan Bagaimana Saya Mengarang ternyata juga mendengarkan lagu-lagu The Beatles sampai dangdut?

Teman saya tak bisa menjawab. Agar pertemuan kami tak berubah menjadi perdebatan yang membuat suasana tak nyaman, ia kemudian mengalihkan pembicaraan kepada topik-topik lain.
***

Seorang teman yang dikenal sebagai sutradara film independen dengan agak memaksa meminta saya menilai karya filmnya yang terbaru. Karena saya dikenalnya suka menonton film yang dianggapnya berselera baik, maka ia meminta saya untuk memberikan ulasan yang barangkali bisa ditulis dan dimuat di media internet tempat saya berkiprah. Saya terima tawaran itu. Saya tonton filmnya. Begitu film selesai saya segera pulang menghindari perjumpaaan dengan si pembuat filmnya. Kenapa? Karena pasti pertanyaan pertama yang dilontarkan bagaimana filmnya bagus, nggak? Saya tidak siap. Oleh karena itu saya buru-buru pulang.

Dalam perjalanan pulang saya tak tega mengatakan sesungguhnya film karya teman itu. Ada kekurangan di sana-sini yang untuk teman saya masih bisa ditolerir. Tetapi sepenuhnya yang tidak bisa saya maklumi adalah usahanya yang terlihat demikian keras mencontoh film-film dengan cita rasa estetik seni tinggi macam Akira Kurosawa sampai Alfred Hitchcock, sutradara yang menurut pengakuannya sendiri adalah idolanya. Akibatnya sudah dapat ditebak film karya teman saya kedodoran. Yang terus mengusik pikiran kenapa teman saya membuat film seperti itu? Kenapa harus menyelipkan adegan-adegan dan dialog yang sesungguhnya tak lazim dalam kehidupan sehari-hari? Kenapa dia tak berpikir kalau adegan-adegan yang menurutnya indah dibuatnya malah jadi terlihat kikuk? Kenapa dia sekedar mengambil saja alias mencontek dari film-film seni idolanya? Bukankah hal demikian sama saja dengan berbohong pada diri sendiri?
Malam harinya saya menonton dua film asing dari Jerman dan Iran yang konon dalam sebuah ulasan di koran terkemuka disanjung-sanjung sebagai film dengan "cita rasa estetik seni tinggi" seraya memenangkan berbagai penghargaan bergengsi. Setelah menonton dua film asing itu saya berkesimpulan film dengan cita rasa estetik seni tinggi toh tak perlu berumit-rumit. Bahkan kalau perlu menghibur seperti film-film India yang selalu jadi bahan celaan oleh teman saya, si sutradara film itu. Kedua film asing itu malah menurut saya sangat menghargai penontonnya.
Tanpa bermaksud membandingkan, saya berkesimpulan dua sutradara film asing itu barangkali ketika sedang membuat filmnya juga berpikir bagaimana seandainya mereka menjadi penonton sehingga memperlakukan hasil karyanya seperti menonton karya orang lain.
Esok hari sebelum bertemu dengan teman saya itu saya berpikir apa yang harus saya katakan agar tak menyinggung perasaannya. Saya paham apa sesungguhnya yang diinginkan teman saya. Apalagi dia lulusan sekolah film ternama di negeri ini. Yang masih tak habis pikir kenapa keinginan agar mendapat predikat estetika seni tinggi malah membuatnya menjadi menggelikan? Saya hargai kerja kerasnya sebagai pencipta. Tapi saya juga merasa tak dihargai haknya sebagai penonton. Pengalaman saya menonton, membaca dan menikmati berbagai karya yang dibilang baik, entah itu dari parameter kritikus atau saya sendiri tak bisa ditipu dengan hasil art yang artificial. Bukankah bagi yang terbiasa menonton dapat dengan mudah terlihat mana yang mencontek, mana yang asal ambil, mana yang hasil refleksi atau hasil persetubuhan bertahun-tahun di laboratorium?

Tiba-tiba saya jadi lebih menghargai seorang Emil G. Hampp, duet produser film b-movies Menahem Golan dan Yoram Globus atau Andrew Stevens yang konon dilecehkan kaum kritikus dan terkenal membuat film berselera rendah. Atau Motinggo Busye dan Remy Sylado yang semasa mudanya menulis cerita-cerita perangsang birahi. Harus kita akui mereka lebih jujur daripada perilaku dua orang teman saya tadi. Mereka lebih dihadapkan pada pemenuhan hukum demand and supply tanpa harus merasa perlu memperoleh embel-embel tertentu.
***
Dalam sebuah harian pagi pada hari Minggu dimana untuk hari ini biasanya setiap koran memunculkan rubrik budayanya, saya berhenti pada sebuah esai sastra. Esai tersebut penuh dengan centang perenang bahasa yang sangat indah, sehingga saya dengan mudah bisa menebak sang penulisnya sesungguhnya tak mengerti apa yang ditulisnya.

Rasa keingintahuan saya muncul sehingga saya membaca esai tersebut sampai selesai. Saya berhenti pada kalimat "kritik terhadap sastra koran memberi identifikasi atau label tak simpatik yang sesungguhnya non sastrawi". Saya terus melanjutkan, "Sedangkan pendapat Saut Situmorang yang kelewat minor dan agresif terhadap eksistensi sastra di koran itu sebenarnya sebuah ekspresi yang justru menelanjangi dirinya sendiri sebagai sampel pelaku sastra yang gampang gerah terhadap realitas sastra di koran, tapi tak mampu menawarkan karya sastra yang lebih bermutu. Lalu menggerutu dan membangun media sastra alternatif di internet, yang konon sangat bebas mengakses karya sastra siapa pun dengan cara 'menihilkan' ukuran mutu dengan dalih demokratisasi dan menolak 'estetika modernis'." (Kritik Menggonggong Kafilah Berlalu, oleh Binhad Nurrohmat, Media Indonesia Minggu).

Si penulis itu tengah mengungkit media yang sudah sejak tahun 1999 saya kelola bersama teman-teman dengan menyebut seorang kawan saya, Saut Situmorang sebagai ‘sampel pelaku sastra yang sedang gerah’. Setelah membaca esai sastra yang sesungguhnya sedang menyorot keberadaan media internet yang saya rintis sehingga alhamdulilah masih bertahan sampai sekarang, saya geleng-geleng kepala.
Lagi-lagi saya menemui kekonyolan yang melulu dihiasi istilah indah tanpa sesungguhnya ia mengerti benar apa yang hendak dikritiknya. Satu hal yang membuat saya segan untuk urun rembug ambil bagian apalagi menulis ke dalam polemik yang masih timpang ini. Berterimakasihlah saya kepada Saut Situmorang yang sudah turun ambil bagian dalam polemik ini.

Saya bertemu penulisnya di sebuah toko buku sore hari. Kebetulan setahun lalu si penulis kritik yang juga menulis sajak ini selalu memperkenalkan dirinya sebagai eseis dan pengamat sastra di media yang memuat karyanya. Jauh sebelum tulisan yang baru saya baca ini ia juga pernah lantang berkata kepada saya bahwa mutu karya sastra di media yang saya kelola tak bermutu.
Pembicaraan terputus karena perhatian saya beralih kepada seorang teman lain yang datang menyapa saya. Sepulangnya saya menyesal kenapa tak membantah argumennya. Namun untuk tulisan yang baru saya baca itu tumben ia tak mencantumkan ‘eseis dan pengamat sastra’ lagi melainkan ‘seorang penyair’. Saya berpikir, jangan-jangan ia sedang keburu senang dengan predikat barunya ‘sebagai penyair’ setelah ‘eseis dan kritikus’?

***

Perilaku ketiga teman saya itu kurang lebih mengingatkan saya pada perkembangan kesenian belakangan ini dengan tumbuhnya komunitas budaya dan juga cultural studies di berbagai tempat. Menonton pertunjukan, menyimak diskusi seni budaya dan menonton film tertentu tak lagi harus di Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu. Di rumah sendiri dengan memberi embel-embel "budaya" atau tidak sama sekali alias pertemuan tak resmi sambil saling memperlihatkan koleksi pribadi kini bisa saja terjadi. Berdiskusi di milis (mailing-list) juga memuaskan dahaga sekumpulan orang dalam satu minat tertentu, entah itu dengan embel-embel "budaya" atau tidak. Sah-sah saja, seperti pepatah latin de gustibus non est disputandum, bahwa masalah selera sebenarnya tak dapat dipertengkarkan lagi.

Agak sulit memang menghadapi perilaku masyarakat yang membaca atau menikmati karya seni hanya sekedar pragmatis eskapisme belaka. Membaca hanya ingin dibilang terpelajar kendati yang sesungguhnya dibicarakan adalah hasil review seseorang di sebuah koran atau halaman belakang komentar pakar yang tercantum sebagai "penglaris" sebuah buku.

Yang berkarya hanya ingin dibilang sophisticated, gagah-gagahan, atau paling tidak lebih ingin menjadi bagian dari komunitas budaya tertentu yang sedang naik daun, bukan karena merasa perlu berbuat sesuatu setelah menyimak hasil sebuah pemikiran. Saya tak bermaksud menggugat orisinalitas. Yang saya gugat adalah apa sesungguhnya yang diinginkan dari si pencipta, juga penikmat. Mengapa begitu menghasilkan karya yang barangkali menurut sang pencipta terbaik tapi nyatanya belum memuaskan penikmatnya? Sedangkan bagi si penikmat yang entah sadar atau tidak selalu ingin mengejar mutu demi gengsi mengapa mencela mereka yang juga penikmat karya kitsch?

Tiba-tiba saya bertanya pada diri saya sendiri sesungguhnya untuk siapa seniman berkarya? Sastrawan menulis untuk siapa? Kita membaca untuk siapa? Membuat film untuk siapa? Sadarkah para budayawan atau seniman itu berkarya? Tentu saja jawabannya pasti, ya. Tapi jika ya, kenapa hasilnya malah menggelikan?
Sedangkan bagi para penonton dan penikmat kenapa begitu mudah muncul celaan sebagai "si plin plan" ketika seseorang bisa menikmati dua hasil karya berbeda, yang satu kitsch alias minor art dan lainnya karya adiluhung yang konon menurut para "budayawan" itu adalah "revolusi jiwa, revolusi dalam sumber segala kenyataan hidup" (HB Jassin) atau "memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku dalam masyarakat maupun dalam hati manusia"? (Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat). Saya setuju rumusan-rumusan itu. Akan tetapi kenapa kita begitu sombong mengkotak-kotakkan diri agar dibilang bermutu?

Saya menduga hal ini terjadi karena ketidakbetahan dan nafsu untuk melebur khasanah seni, pemikiran atau apapun juga ke masyarakat luas serta rasa penting tentang peran diri dalam sejarah sehingga membuat kita lebih suka mencetak bahan pemikiran yang terbentuk dari omong-omong saja, bukan hasil dari pergumulan laboratorium, refleksi, apalagi tindakan.
Kritik sastra di pelbagai media cetak pun juga demikian. Sejumlah orang berbekal euphoria terhadap pemikiran-pemikiran tertentu tanpa proses pencernaan lebih lanjut dengan bangga menamai dirinya sebagai "kritikus sastra", "pengamat sastra" sampai "eseis" dan "budayawan" segala. Padahal jika dibaca hasil tulisannya sama sekali hanya tautalogi belaka sehingga hanya muncul pada permukaan, tidak menyentuh pada persoalan sesungguhnya.

Perihal euphoria terhadap pemikiran itu akhirnya membuat mereka seperti terlihat fasih membungkusnya dengan istilah-istilah tertentu. Tentu saja sah-sah saja istilah-istilah yang terdengar indah dan sangat berkesan akademik nan elit itu digunakan. Akan tetapi sadarkah penggunaan istilah mengesankan itu sesungguhnya tak lebih hasil dari seorang penghafal? Bukankah bagi pembaca yang terbiasa dengan pelbagai bacaan dengan mudah dapat menerka tulisan mana yang benar-benar berasal dari hasil pemikiran atau tanpa pemahaman lebih lanjut?

Faham mengkritik di bidang kebudayaan dan sastra pun juga demikian. Bagaimana bisa mengkritik produk budaya dari gerakan tertentu tanpa dia sendiri, yang dengan gagah menamai dirinya "kritikus, eseis, budayawan dan pengamat sastra" belum sepenuhnya mengamati apalagi menikmati secara estetik apalagi esensial hasil produk itu? Bukankah akibatnya hanya melambungkan jargon belaka yang barangkali sesungguhnya (jangan-jangan) tak dipahami si penulis? Bukankah yang terjadi adalah polemik perdebatan timpang antara kedua belah pihak yang sesungguhnya belum bahkan tak mengenal satu sama lain?

Saya bukan bermaksud mengatakan apabila ingin mengkritik, misalnya hasil karya seorang juru masak kondang harus bisa dulu memasak sepintar juru masak yang akan dikritik. Bukankah lebih sederhana saja kita memakan lebih banyak saja hasil masakannya bersama hasil masakan lain yang jenisnya sama meskipun bukan hasil karya si juru masak tenar itu?

Saya jadi bertanya, lupakah si penulis bahwa teori-teori yang ia agungkan itu adalah tak lain dari hasil pergulatan dengan tradisi pemikiran sehingga sesungguhnya mampu mencuat tanpa perlu dibungkus label tertentu? Lupakah ia pada asketisme berkarya? Sang penulis lupa bahwa sesungguhnya belum ada pergulatan teoritik sungguh-sungguh terhadap karya sastra atau seni kita. Pada akhirnya yang terjadi adalah sekelompok pemikir yang begitu ngebet dengan pemikiran terbaru namun karena resiko dan desakan pasar global menerapkannya sebagai pembaharuan.

Istilah "kritikus, eseis, budayawan dan pengamat" sendiri juga belum sepenuhnya mantap, persis yang terjadi pada istilah "pengamat politik" dan "pakar" karena tidak mantapnya tradisi ilmiah kita khususnya kehidupan akademik sehingga akhirnya mengabaikan riset dan lapangan demi menjadi "juru penerang". Namun hal ini bukan berarti saya menolak hasil pemikiran seorang "budayawan" bukan produk akademik.

Sah-sah saja orang di luar akademik berpendapat dengan menuliskan pandangannya di koran. Hanya saja yang dikhawatirkan mereka kebanyakan tak sesungguhnya paham untuk siapa mereka menulis. Hasilnya mungkin bisa menyenangkan redaktur tapi belum tentu memuaskan pembaca yang barangkali dianggap oleh si penulis "belum tahu". Hak pembaca mendapat info yang benar jadi terabaikan karena yang terdapat adalah hasil karya dengan menyepelekan fakta dan logika sederhana.


Sekali lagi saya bertanya untuk siapa kita berkarya? Untuk apa kita menulis? Untuk apa kita membaca buku? Untuk apa kita menikmati karya seni? Apakah demi pencapaian dan pemenuhan rasa estetik pribadi, hura-hura eskapisme, sekedar pemberitahuan ada gagasan yang harus tersampaikan, atau cuma gengsi saja agar dibilang bermutu seperti sikap ketiga teman saya? Benarkah kejujuran berkarya sudah tak diperlukan lagi demi gengsi semata?

Rawamangun, Desember 2002 2:22 AM.


Sastra yang Meringkuk


Beberapa hari yang lalu seorang kawan berkata bahwa dia baru sadar buku yang dibacanya di masa kanak-kanaknya seperti Oliver Twist, Huckleberry Finn, Around The World in 80 Days, Moby Dick dan Time Machine adalah karya sastra. "Padahal dulu saya membaca buku-buku itu dalam bentuk komik atau buku cerita anak yang banyak ilustrasinya. Saya pikir itu judul-judul buku cerita anak," katanya.

"O, itu adalah karya sastra klasik yang supaya lebih menarik dibuat adaptasinya. Biasanya untuk pelajaran bahasa Inggris tingkat sekolah dasar atau diatasnya. Selain itu ada juga karya sastra yang diadaptasi menjadi bacaan anak," kata saya.
"Jadi yang saya baca dulu itu bukan versi aslinya, ya?"
"Memang. Namanya juga adaptasi,"
"Kalau begitu saya beruntung, ya. Paling tidak saya tahu sekilas cerita-cerita sastra klasik. Ngomong-ngomong bagaimana saya mendapatkan versi asli dari cerita-cerita itu? Apakah
masih diterbitkan?"

"Buku-buku seperti itu biasanya diterbitkan oleh Dover Publications, Penguin atau Orion Books. Penerbit ini memang mengkhususkan diri untuk menerbitkan karya sastra klasik versi panjang atau disebut unabridged. Harganya pun tak semahal buku-buku asing pada umumnya karena para penerbit itu mencetaknya dengan bahan-bahan yang lebih murah.

Misalnya, halaman-halaman buku dicetak diatas kertas koran. Atau produk seperti Orion Books yang mencetak buku dengan ukuran lebih kecil dari ukuran biasa. Sehingga selain harganya murah, kesannya praktis dan bisa dibaca di mana saja," jawab saya.
Saya kemudian memperlihatkan kepadanya buku The Island of Dr. Moreau-nya H.G. Wells, terbitan Dover Publications. Dia lalu mengamati buku yang covernya berwarna hijau dan halamannya yang dicetak diatas kertas koran itu dengan seksama. Karena harganya murah buku tersebut saya dapatkan dalam kondisi baru, tak seperti buku-buku asing lainnya yang saya dapatkan di toko buku bekas.

Saya juga memperlihatkan kepadanya The Raven kumpulan puisi Edgar Allan Poe yang diterbitkan Orion Books. Ukurannya hanya 10 X 13 cm. Sama seperti buku sebelumnya, saya mendapatkannya dalam kondisi baru dikarenakan harganya memang murah dan terjangkau.
Saya kemudian tergerak untuk membongkar buku-buku lama saya. Saya temukan buku The Pearl (John Steinbeck), Journey To The Centre of The Earth (Jules Verne) dan Doctor Zhivago (Boris Pasternak). Kebetulan buku Journey To The Centre of The Earth dan Doctor Zhivago yang saya miliki adalah versi abridged (versi ringkas). Halaman-halamannya penuh ilustrasi.
Buku Journey To The Centre of The Earth diterbitkan Peter Haddock. Ltd., sebuah penerbit buku anak dari Inggris. Pada covernya tertulis illustrated chosen classics retold yang berarti buku ini sudah disederhanakan isinya sesuai target pembaca yang disergap, yaitu anak-anak.

Buku satunya lagi Doctor Zhivago diterbitkan Collins English Library, 1978. Beda dengan terbitan Peter Haddock, buku produk Collins English Library ini selain diberi ilustrasi juga ada halaman khusus yang disebutnya points of understanding. Halaman tersebut isinya pertanyaan tentang cerita buku ini secara mendetail per bab. Dengan adanya halaman ini pembaca dituntun untuk memahami cerita, bab demi bab. Maklum, buku ini memang dikhususkan bagi yang sedang mempelajari bahasa Inggris. Halaman points of understanding diperuntukkan sebagai panduan.

Saya membelinya bukan karena sedang mempelajari bahasa Inggris, melainkan karena tak mendapatkan bukunya yang konon pernah diterjemahkan bahasa Indonesia. Kendati demikian saya tetap merasa beruntung. Di samping harganya yang relatif murah, saya bisa langsung memahami cerita karya sastra klasik tersebut dengan mudah.

***


Seusai perbincangan itu saya kemudian berpikir, kenapa penerbit buku-buku sastra klasik Indonesia tak mencontoh seperti yang dilakukan penerbit Peter Haddock. Ltd. atau Collins English Library?

Saya membayangkan, barangkali dengan metode penerbitan semacam itu gairah dan minat baca terhadap buku-buku bacaan karya sastra klasik Indonesia akan meningkat. Selain itu, royalti untuk penulisnya semakin bertambah karena karyanya diterbitkan dalam versi lain.
Buku-buku sastra klasik Indonesia seperti Layar Terkembang, Atheis, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Aki dan lain-lain yang diterbitkan penerbit Balai Pustaka sampai kini masih tetap diproduksi dan didistribusikan di pelbagai perpustakaan-perpustakaan sekolah, kampus sampai institusi pendidikan lainnya sebagai "bacaan wajib". Akan tetapi sesungguhnya harus diakui sebenarnya buku-buku tersebut tak benar-benar sampai dibaca atau terbaca masyarakat sebaik buku-buku lain pada umumnya.

Hal ini memang tak lepas dari penyusunan kurikulum sekolah yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional. Perihal karya-karya sastra mulai dari alur cerita sampai pesan moral yang bisa dipelajari memang disinggung dalam pelajaran bahasa Indonesia. Namun yang terjadi kebanyakan hanya bersifat hafalan semata sehingga siswa tak mampu menyentuh secara keseluruhan isinya, kecuali kalau memang ia suka membaca sastra.
Bagaimana kalau tidak? Siswa memang pada akhirnya paham, misalnya siapakah Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisyahbana atau Marah Rusli itu, berikut karya-karyanya dan dimasukkan di angkatan berapa mereka dalam khasanah kesusasteraan Indonesia. Namun hal ini hanya terjadi pada ‘kulit luar’nya saja. Pada kenyataannya mereka tetap saja tak mengerti apa sesungguhnya cerita dari karya sastra klasik Indonesia.

Di pasaran memang banyak beredar buku-buku ikhtisar roman dari karya-karya sastra klasik Indonesia. Buku tersebut memang sangat praktis, sehingga tanpa perlu membaca apalagi menyentuh buku aslinya kita dapat mengetahui apa isi roman yang termasuk karya sastra klasik Indonesia. Sayang, buku yang diperuntukkan sebagai buku pedoman tersebut terkadang tak diperlakukan semestinya. Pernah di sebuah sekolah ketika ada tugas menulis resensi buku untuk pelajaran bahasa Indonesia, kebanyakan siswa tinggal menyalin saja dari buku-buku ikhtisar.

Barangkali dengan mencontoh Collins English Library dan Peter Haddock. Ltd. buku-buku seperti Layar Terkembang, Atheis, Sitti Nurbaya dan lain-lain jika diadaptasi kembali (abridged) dengan bahasa yang komunikatif dan diberi ilustrasi yang menarik sebagai pendukung pemahaman cerita dapat memancing gairah untuk dibaca.
Tentu saja perlu pemilihan beberapa judul yang pantas diadaptasi sehingga dapat dikhususkan untuk pembaca tingkat SD, SMP atau SMU. Untuk SMP barangkali yang bisa dipilihkan karya-karya seperti Salah Asuhan dan Layar Terkembang. Untuk SD ada Doel Anak Betawi (Aman Datuk Mojoindo), Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis) dan Sitti Nurbaya (Marah Rusli). Sedangkan untuk SMU bisa dipilihkan judul-judul seperti Olenka (Budi Darma) dan banyak lagi.
Bukan tak mungkin produk adaptasi selain menjadi bahan pelajaran sekolah dalam pemasarannya menciptakan peluang baru, yaitu bersanding di pasaran dengan buku-buku dongeng cerita anak lainnya yang diangkat dari cerita rakyat. Mengkomikkan karya sastra Indonesia seperti yang pernah dilakukan sebuah penerbit ternama di India (dulu di era 1980-an Gramedia pernah menerbitkannya dalam seri Album Cerita Ternama) barangkali bisa juga menjadi peluang.

Dalam industri perbukuan dewasa ini, usaha mengkomikkan karya sastra sebenarnya sebagai upaya terobosan terbilang cukup menggembirakan. Misalnya buku Kematian Donny Osmond, Jakarta 2039 dan Taksi Blues, ketiganya kebetulan dari karya sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Hanya sayangnya belum berlanjut pada karya-karya sastra lainnya (apalagi karya sastra klasik Indonesia) dikarenakan penerbitan komik lokal dari perhitungan bisnis masih ‘bertekuk lutut’ pada komik impor.

Tetap Berpeluang


Apabila buku adaptasi karya sastra sudah diproduksi secara massal, buku versi asli (unabridged) pun tetap berpeluang menjadi barang dagangan. Barangkali, bagi sebagian pembaca yang ‘usil’ (baca: teliti) ia bisa coba-coba membandingkan versi adaptasi dengan karya aslinya sehingga produk sebelumnya tetap tak tergerus (jika hal itu yang dikhawatirkan penerbit karya aslinya).

Sekedar contoh, pencetakan kembali dengan kualitas ekonomis seperti yang dilakukan penerbit Dover Publications, Orion dan Penguin Books terbukti berpeluang sebagai barang dagangan, apalagi untuk beberapa judul tertentu yang pernah terbit namun sudah sulit didapatkan di pasaran. Atau, jika memang masih beredar di toko buku dengan harga yang relatif mahal penerbitan karya dengan ‘harga ekonomis’ tentunya dapat membantu.
Sebenarnya model penerbitan karya sastra dengan mengadopsi produk seperti Orion Books (buku saku dengan harga terjangkau) sudah pernah dilakukan penerbit yang dimotori A.S Laksana, yaitu Akubaca. "Pada dasarnya, harga buku harus murah. Terutama bagi yang baru berkenalan dnegan buku sastra, tentunya berat jika harus membeli buku sastra yang harganya 30.0000-45.000 perak," jelas Sulak, panggilan akrabnya. Serupa dengan yang dilakukan Orion Books, penerbit dengan motto "buku kecil karya besar", juga dengan maksud mensosialisasikan karya sastra terjemahan dengan harga terjangkau.

Tentu saja tiada salahnya jika bentuk semacam ini juga diadopsi untuk menjual karya sastra Indonesia. Penerbit Balai Pustaka di tahun 2000 sebenarnya pernah melakukannya dengan menerbitkan Aki karya Idrus dan beberapa judul lain yang dimasukkan dalam "seri sastra nostalgia". Buku tersebut juga diterbitkan dalam bentuk buku saku. Sayang, langkah penerbitan ini sepertinya kurang bergairah dengan tidak banyaknya judul yang berlanjut diterbitkan dalam seri ini.


Promosi dan distribusi yang lemah disamping tidak dilakukannya peremajaan desain sampul yang menawan akhirnya membuat penerbitan "seri sastra nostalgia" Balai Pustaka seperti tak mampu bersaing. Hal serupa juga dialami Pustaka Jaya yang juga pernah menerbitkan bentuk semacam itu dengan menerbitkan karya-karya Kahlil Gibran.

Berbeda dengan penerbitan kembali karya sastra lama yang dilakukan IndonesiaTera dengan menerbitan Isabel Blumenkol dan Tuan Gendrik karya Pamusuk Eneste. Sebelumnya dua buku karya Pamusuk Eneste ini pernah diterbitkan Gunung Agung dan Puspa Swara. Seiring berjalannya waktu, buku-buku tersebut kemudian diterbitkan ulang dengan desain cover menawan sesuai zaman. Penerbit Gunung Agung pun tak ketinggalan dengan menerbitkan kembali Merahnya Merah dan Ziarah karya Iwan Simatupang. Penerbit Yayasan Obor Indonesia melakukannya dengan menerbitkan Harimau! Harimau! (sebelumnya diterbitkan Pustaka Jaya), Bromocorah dan Senja di Jakarta, ketiganya karya Mochtar Lubis. Penerbit buku Kompas juga tak ketinggalan dengan menerbitkan kumpulan cerpen yang pernah dipublikasikan Kompas tahun 1970-1980-an. Robohnya Surau Kami karya A.A Navis pun juga diterbitkan kembali oleh Gramedia.


Penerbitan kembali yang sudah dilakukan sesungguhnya menunjukkan indikasi bahwa karya sastra klasik atau lama mampu dijual. Jadi, sesungguhnya masih ada peluang untuk memproduksi karya adaptasi sehingga hasilnya kelak tak bakal ‘mengganggu’ penjualan karya aslinya. Bukankah pada dasarnya setiap produk memiliki pasarnya sendiri-sendiri?

Penanganan Khusus


Tentu saja proses untuk mengolah kembali karya-karya sastra yang umumnya adalah bahasa Melayu lama bukan hal mudah dan sangat membutuhkan koordinasi dari pelbagai pihak, di samping kesediaan dari pengarangnya sendiri karyanya untuk diadaptasi. Mencari ilustrator yang cocok untuk keperluan pendukung cerita dan kemampuan editor sebagai pengolah naskah karya sastra bukan hal mudah. Royalti yang memadai dan hak cipta untuk pengarang juga perlu diperhatikan sungguh-sungguh, karena karya si pengarang kelak diterbitkan dalam versi ‘baru’.
Masalah pengadaptasian karya-karya sastra memang membutuhkan penanganan khusus, bahkan tak hanya dari pihak penerbit saja. Tak kalah penting adalah hubungan penerbit dengan kalangan pendidikan yang notabene memiliki akses dalam rancangan kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah. Hubungan ini bukan tak mungkin dapat merangsang minat siswa terhadap pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sastra kelak dapat menjadi sesuatu yang menarik hingga tak lagi menjadi momok dalam pelajaran sekolah. Pangsa pasar yang kelak direngkuh oleh penerbit sebagai konsumen pembaca pun jelas, yaitu anak-anak sekolah.
Upaya yang sudah dan pernah dilakukan memang masih dalam proses panjang, sesuai cita-cita tersosialisasikannya sastra ke masyarakat. Misalnya program Siswa Bertanya Sastrawan Bicara yang sudah dilakukan di pelbagai tempat oleh majalah sastra Horison. Adapun dengan program ini siswa dapat bertatap muka dengan sastrawannya hingga terjadi komunikasi interaktif. Namun hal ini belum cukup jika tak dilakukan langkah-langkah inovasi terhadap bacaan karya sastra itu sendiri.


***



Perbincangan dengan teman saya itu telah jelas menunjukkan kenapa bacaan-bacaan yang dianggap ‘agung’ masih hanya menjadi ‘Menara Gading’ saja alias enggan disentuh, kecuali peminat, mahasiswa dan peneliti karya sastra itu sendiri. Hal ini jauh berbeda di luar negeri dimana upaya sosialisasi karya-karya sastra senantiasa berjalan, bahkan tak berhenti dengan hanya mencetak dan menerbitkannya kembali.

Mereka tak kenal lelah berupaya mengolah karya sastra dengan pelbagai bentuk, entah itu dijadikan komik, diterbitkan ‘versi ekonomis’, dibuat film kartun dan banyak lagi. Karya sastra tak lagi hanya meringkuk di rak toko buku, melainkan memang benar-benar menjadi pencerahan bagi bangsanya.

Pertanyaannya sekarang, siapa yang mau memulai kalau bukan dari kita sendiri?*

[...] dan Cerita-cerita Lainnya


ISBN 979-3684-01-1
penerbit Jalasutra, 2004
isi xi+200 hlm.
harga Rp. 24.000

pembelian
Penerbit Jalasutra
Jl. Sapujagat 137 Blok E4
Bandung 40123
Telp. (022) 2502261
redaksi_bdg@jalasutra.com



"Dalam beberapa cerpennya, Donny berhasil menciptakan dunia rekaan yang terasa aneh namun berangkat dari penghayatannya terhadap berbagai masalah sosial di sekitarnya. Sebagai respon terhadap berbagai masalah itu, cerpen-cerpennya perlu diperhatikan…"
Sapardi Djoko Damono

"Cerpen-cerpen DNA membuat orang penasaran membacanya sampai selesai karena kejutan sering muncul di akhir cerpen…" Pamusuk Eneste

"Pemaparannya mengingatkan saya pada ‘gaya’ (kalau boleh saya sebut demikian)
Charles Dickens: ‘bercerita’, mengalir, dan tiba-tiba ‘menukik’ ke ending. Kita tidak ‘dibebani’ persoalan rumit. Kita bahkan diajak mengembara ke kehidupan antah-berantah, yang anehnya, sebetulnya justru membawa kita masuk ke ‘kehidupan’ kita sendiri…" Yanusa Nugroho

"Dengan berbagai latar dan alasan dari tokoh yang tak masuk akal dan aneh dalam peran sosial -- bahkan peran kehidupan – karya-karyanya mengingatkan kita pada segelintir pengarang eksistensialis, humanis, tertentu yang berusaha mensatirkan siapa pun tokoh yang agung…"Sihar Ramses Simatupang

"Jika di Indonesia perkembangan jenis cerpen semacam Maupassant maupun O Henry masih belum memperlihatkan kekuatannya, tak diragukan lagi kita membutuhkan lebih banyak ruang untuk munculnya cerpen seperti itu dan tentunya penulis-penulis cerpen yang tertarik untuk terjun di dalamnya. Donny dan cerpen-cerpennya adalah pintu bagi ruang semacam itu…"Eka Kurniawan"Tanpa bermaksud membandingkan, semangat ingin mengejutkan pembacanya sejalan dengan karya-karya Anton Chekov, Putu Wijaya atau Sutardji Calzoum Bachri. Penuh kejutan dan kelokan yang asyiknya baru terasa di akhir-akhir paragraf…" Ekky Imanjaya

"Negeri ini sedang kekurangan kisah dan miskin imajinasi. Semoga ia menulis terus agar ikut mengisi kekosongan kisah di negeri ini…" Hikmat Darmawan



Preview Cerpen

"Maaf, Sepertinya Saya Mengenal Anda?"


Kata-kata itu belakangan membuat lembaran hidup Moira jadi terasa menyebalkan. Betapa tidak, dalam perjalanan selalu ia menjumpai orang-orang yang menatapnya dengan pandangan heran lantas berkata padanya, "Maaf, sepertinya saya mengenal anda?" Atau, "Maaf, sepertinya saya pernah melihat anda?" Moira bersikap demikian karena, meski jika dipikir dengan hati tenang sesungguhnya bisa bermaksud baik kendati tak ada seorang pun yang ingin disamakan dengan orang lain, walau ia orang terkenal sekalipun.Kurang lebih dua tahun belakangan Moira mengalaminya setelah ia diterima bekerja sebagai pegawai customer service di Hasselbrook Bank, sebuah bank swasta yang terbilang bonafid.

Mulanya Moira merasa senang-senang saja disamakan dengan Bella, wanita cantik pemimpin redaksi majalah gaya hidup metropolis yang terkenal, Contemporeanos. Nama Bella Porizkova memang dikenal sebagai public figure yang berhasil. Apalagi ia pernah dinobatkan majalah Cosmopolitan sebagai fun fearless female, sebutan bagi wanita dengan predikat muda, cerdas, mandiri, masih lajang, aktif dan juga- cantik. Sebuah majalah lain bahkan menobatkannya sebagai prototype wanita muda masa kini.Ya, siapa tak mengenal Bella? Sesuai namanya Bella yang berasal dari bahasa Perancis, belle yang artinya cantik, sungguhlah tepat menjuluki Bella sebagai "prototype wanita muda masa kini di abad millennium, abad 21". Selain bekerja sebagai pemimpin redaksi majalah gaya hidup yang bonafid, Bella juga kerap kali diundang sebagai pembicara atau moderator di berbagai seminar dan talk show radio, televisi. Dalam tiap acara Bella dikenal mengulas pelbagai topik aktual sosial dan budaya dengan segar.

Pendapat-pendapat dan kritiknya yang tajam selalu dikutip wartawan.Begitu populernya Bella sehingga selain tiap anak gadis memimpikan dirinya bisa menjadi foto model, penyanyi atawa bintang film paling tidak sosok Bella memberi inspirasi bahwa dengan menjadi seorang jurnalis atawa pengamat masalah sosial dapat menjadi masa depan yang cerah. Ya, Bella Porizkova adalah sosok fenomenal. Sangat jarang wanita muda dan cantik sekaligus cerdas seperti dirinya tapi diidolakan bak memuja bintang film atawa biduan terkenal. Tiba-tiba setiap wanita yang sadar kecantikan bukanlah segalanya di samping kecerdasan menjadikan diri Bella sebagai panutan.Dan, itulah Bella. Lain Bella, lain Moira. Bella adalah wanita lajang usia tigapuluhdua tahun yang sukses. Sedangkan Moira, kendati usianya baru duapuluhlima tahun, sama-sama masih lajang dan juga cantik, Moira bukanlah Bella.

Kehidupan Moira jauh bagai langit dan bumi. Memang, jika dilihat dari sisi lain semuanya jauh panggang dari api. Bella berpendidikan tinggi, es dua, lulusan antropologi dari Universitas Harvard pula selain supel dan pintar berbicara di depan mimbar. Sedangkan Moira, meski juga berpendidikan tinggi jelas tak bisa dibandingkan atau disamakan dengan Bella. Sesuai pekerjaan yang digelutinya Moira juga supel juga meski agak malu-malu bicara depan umum. Bella tinggal di apartemen mewah, mendapat fasilitas mobil pribadi di kantornya. Sedangkan Moira hanya tinggal di rumah kost yang sempit dan kemana-mana menunggang sepeda motornya yang butut.Barangkali Bella paham betul masalah kesejahteraan sosial, isu-isu gender, perspektif budaya dari pelbagai sudut pandang, film-film bermutu sampai baju, kosmetika, parfum, handphone model terbaru, parfum, tempat nongkrong sampai lagu-lagu populer.


Kesamaan Moira paling-paling hanya sampai pada hal-hal umumnya yang dibicarakan: gosip artis, baju model terbaru dan segala tetek bengek lainnya khas cewek.Tapi apapun yang terjadi, sungguh tak layak menyamakan atau membandingkan diri seseorang dengan orang lain. Bukankah pada dasarnya tiap orang memiliki keunikan? Moira adalah Moira dan Bella adalah Bella, tak kurang dan tak lebih. Lantaran Moira bekerja sebagai customer service di Hasselbrook Bank, sulit baginya untuk menghindar karena ia bekerja di meja depan melayani nasabah. Banyak orang setelah dilayaninya selalu berkomentar, "Maaf, sepertinya saya mengenal anda?" "Anda mirip sekali dengan Bella," atau, "Maaf, sepertinya saya pernah melihat anda. Apakah anda Bella Porizkova?" "Apakah anda mempunyai hubungan saudara dengan Bella?" Begitu-begitu terus.Mulanya Moira tak menganggap lontaran-lontaran pertanyaan seperti itu hingga ia menjawabnya cukup dengan gelengan kepala diiringi senyuman. Ya, siapa sih yang nggak bangga disamakan dengan orang terkenal?


Atau, ia dengan sengaja menunjukkan name tag di bajunya supaya orang yang mengira dirinya Bella Porizkova dengan jelas dapat membaca name tag bertuliskan huruf timbul "Moira Esperanda".Lama kelamaan Moira muak disamakan dengan Bella. Selain secara pribadi ia memang tak pernah mengenalnya, Moira merasa banyak orang tak lagi menganggapnya Moira yang sesungguhnya. Contoh kecil, pada jam istirahat, Moira sering dipanggil teman-temannya, "Bella, Bella!" Atau, teman lain, sebut saja Kristanna yang tak lain adalah atasannya selalu memanggilnya Bella bukan Moira, tentu saja dengan maksud bergurau. Tapi, pernah pada suatu hari ketika Moira membuat kesalahan kecil dalam pekerjaannya ia mendengar gerutuan bosnya, "Wajah boleh mirip Bella! Gitu aja kok ngawur? Bagaimana, sih?"Oh, Moira semakin kesal saja. Selain pada hari itu ia memang sedang sial, nama Bella lagi-lagi disebut. Rasanya ia ingin sekali membuat iklan pengumuman besar-besaran di koran : "Saya Moira Esperanda sama sekali TIDAK ada hubungannya dengan perempuan bernama Bella Porizkova. Segala hal yang berkaitan dengan penyebutan nama Bella terhadap Moira adalah PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA"."Ah, buat apa dipikirin, toh, banyak cewek senang diidentifikasikan dengan dia. Seharusnya kamu bangga!" ucap Marguerita, teman kostnya."

Mulanya sih iya, tapi aku bosan! Aku adalah Moira, pegawai bank yang suka baca buku Harry Potter, bukan Bella yang pintar berdebat dan diskusi itu! Huh!""Ya, sudah. Bagaimana kalau kamu ikut lomba mirip bintang? Siapa tahu dengan mendaftarkan dirimu kamu dapat terkenal dan populer seperti Bella?" kata Cynthia."Tidak! Wah, itu sama saja aku mendompleng ketenaran dia!""Lho, maksudku bukan begitu. Maksudku, manfaatkan saja dirimu sehingga kamu agak terhibur sedikit. Tetanggaku saja mendapat hadiah dan sekarang malah bisa buka butik karena dia menang lomba mirip aktor Tom Cruise?"

"Pokoknya tidak! Aku bosan hampir tiap hari orang menyebutku begitu. Di jalanan walau mereka tak langsung menyapa, pandangan mereka seperti secara tersirat menyatakan orang ini mirip sekali dengan Bella. Atau pernah aku bertemu dengan seorang laki-laki di atas bus pandangannya seperti mengatakan lho, kok Bella Porizkova ada di sini?’ Coba, gimana nggak sebal?"

"Ya, sudah. Terima sajalah sebagai anugerah. Jangan-jangan itu pertanda suatu saat nanti kau bisa sesukses Bella. Atau paling tidak gaya hidupmu suatu saat nanti akan seperti dia, populer, cantik, supel…"

"Alaah! Bella lagi, Bella lagi! Pokoknya aku tidak suka!"
"Ah, barangkali kamu punya hubungan saudara jauh, ya? Coba selidiki silsilah keluarga…lumayan, kan bersaudara dengan orang terkenal, hahahaha!"
"Ya, ya, kau bisa mengaku sebagai saudara kembar yang sudah lama terpisah. Cobalah bikin publikasi di koran dan tabloid…Moira Esperanda bakal jadi orang terkenal, hahahaha!"

"Pokoknya tidak mau! Ah, kalian ini hanya mencari kemudahan dan kesenangan saja, bukannya mencari jalan keluar! Aku adalah Moira Esperanda dan aku sudah cukup puas menjadi diriku sendiri!" balas Moira sengit.

"Young lady, nampaknya kemiripanmu dengan Bella bagimu adalah masalah besar, ya!?"

Masalah besar? Ya, masalah besar…Dan, yeah, begitulah. Moira menjadi jemu. Kehidupan terasa semakin membosankan saja. Ingin rasanya ia pindah ke bagian lain dimana tak harus menghadapi banyak orang hingga tak ada lagi yang berkata,

"Maaf, sepertinya saya pernah melihat anda?"
Tapi pindah ke bagian lain bukan hal yang mudah. Barangkali hal itu baru bisa terwujud jika ia sudah terbilang cukup lama bekerja di kantor.
Atau, sekalian mengganti namanya saja menjadi orang lain, bukan Moira Esperanda lagi setelah mengganti penampilannya? Ya, menjadi orang lain pun kalau mau bisa menjadi pilihan. Pilihan melepaskan diri sepenuhnya dari dua orang yang sama, Moira dan Bella barangkali lebih nyaman. Tentu saja tak sampai operasi plastik. Selain bagi Moira harganya pasti mahal dan ia tak mau disamakan dengan Michael Jackson dan Cher yang berulang kali melakukan operasi plastik, menurut Moira operasi plastik sama saja tak menghargai anugerah Tuhan.Moira tak sampai hati melakukannya.

Ia berpikir, sepertinya aku membenci diriku sendiri hingga sampai mengganti nama, nama pemberian kedua orang tuaku yang tercinta. Tapi, ia pernah membaca di koran-koran tak ada salahnya orang mengganti nama. Banyak orang mengganti namanya agar lebih keren dan enak dilafalkan, selain menambah rasa percaya diri atau supaya hokinya lebih besar. Ya, nama juga penting. Ia jadi ingat kawan sekolahnya dulu karena nama pemberian orang tuanya sama dengan nama bintang film terkenal, ia mengganti namanya. Ia juga pernah mendengar ada pesta perayaan yang diselenggarakan untuk merayakan nama baru yang diberikan pada seorang anak.Ya, sebisanya sajalah aku mengganti penampilan, gaya rambut, make up…

Karena semakin sering disamakan dengan Bella, nyaris sebelum tidur pada setiap malam Moira memanjatkan doa, "Tuhan, ubahlah wajahku bukan mirip Bella lagi. Tolong hentikan supaya orang-orang tidak memanggil aku Bella, Bella lagi!" Kadang-kadang doa itu terkabul. Memang dalam beberapa hari tak ada lagi yang menyebutnya Bella atau bicara, "Maaf, sepertinya saya pernah melihat anda?"

Sebagai gantinya, pandangan orang-orang terutama para nasabah yang habis dilayaninya masih selalu menatapnya seakan berkata, "Orang ini kok saya kenal, ya?" Ugh!Tapi, Tuhan maha adil. Kesialan seperti itu toh tak selalu menghampiri Moira. Pernah Moira ketika sedang menguber waktu karena bangun kesiangan hendak pergi ke kantor, polisi lalu lintas tak jadi menilang setelah Moira membuka helmnya."Oh, Nona Bella Porizkova. Pasti anda buru-buru, ya? Ya, sudahlah!" kata polisi itu."Saya, saya…selalu mengikuti diskusi sampean di televisi, membaca tulisan-tulisan sampean di koran dan majalah. Lain kali jangan melanggar lampu merah, ya!?"Moira tersenyum, mengenakan kembali helmnya dan berlalu. Padahal dalam hati Moira bertanya-tanya, kok ada juga polisi lalu lintas yang mengagumi Bella? Aih, bukankah masalah-masalah yang dianggapnya "berat" itu tak biasanya "di konsumsi" polisi lalu lintas? Bukankah fans Bella kebanyakan anak-anak muda idealis, aktivis pergerakan, el-es-em, ibu-ibu rumah tangga, eksekutif…

Ah, masa bodohlah!Atau ketika ia sedang jalan-jalan di mal, pasti pramuniaga bagian parfum, kosmetika atau baju segera menghampirinya dengan ramah. Karena Moira disangka Bella ia lantas mendapat potongan diskon atau diperbolehkan "membayar separuh harga". Wah! Sayangnya, tak bisa selalu Moira seberuntung itu. Di luar pekerjaannya yang mengharuskan ia tampil anggun, Moira lebih suka mengenakan busana casual saja, t-shirt dan jeans tanpa tetek bengek lainnya. Ya, Moira memang cantik, tapi bukan tipe modis nan anggun seperti Bella.Pernah Moira berpikir akan memotong rambutnya saja, atau sekalian mengubah penampilannya agar tak selalu disamakan dengan Bella.

Tapi, Manolo, kekasihnya melarang."Pikir-pikir dululah sebelum kamu memotong rambut!" protes Manolo."Ha, kau melarangku bukan karena nanti aku tak mirip Bella lagi, kan?" balas Moira, sengit."Siapa bilang begitu? Aku tidak kenal Bella dan bukan pengagum Bella. Pokoknya aku tidak setuju kamu memotong rambutmu! Kudengar kamu mau mengubah
penampilanmu, ya?" kata Manolo tak kalah sengit.Ya, baiklah. Moira senang sekali Manolo melarangnya bukan karena ia nanti tak lagi mirip Bella. Berarti dia tak meragukan cintanya. Padahal dulu sempat terbetik kabar, alasan Manolo mencintai Moira salah satunya karena wajahnya mirip Bella. Berhubung Moira seperti mendapat pengalaman "trauma psikologis", Moira pernah percaya saja dengan gosip itu, bahkan diam-diam menyelidiki apakah betul Manolo mencintai Moira karena alasan itu. Tapi, setelah dinasehati seorang kawan belakangan

Moira menyadari tak seharusnya ia melakukannya. Sungguh keterlaluan mencurigai orang yang dicintai hanya karena masalah kecil…
"Apa kecil? Lekas, selidiki Manolo! Telepon teman-teman dekatnya! Tanyakan hal itu kepada mereka, cepat!"
"Tidak, tidak! Manolo mencintaimu karena…"
"Karena kamu mirip Bella!"
"Karena kamu cantik seperti Bella!"
"Karena…"
"Astaga, kenapa kamu tega berbuat seperti itu? Apalah artinya hubungan yang sudah dua tahun berjalan?"
"Alaah, laki-laki kan suka bohong! Kamu tahu, dua dari tiga laki-laki itu sebenarnya tidak setia?"
"Hm, begitu, ya? Manolo sudah banyak melakukan hal-hal baik denganmu lantas kau mencurigainya hanya karena masalah kecil? Keterlaluan! Kamu egois! Kamu hanya percaya pada hal-hal yang belum tentu benar!"
"Enak saja! Ini masalah HAK ASASI! Harga diri! Ini masalah besar! BESAR!"
"Kecil!"
"Besar!"
"Kecil!"
"Besaaarrr!!!"
"Keciiillll!!!"
"1!23%!!!!@()&^!!!!????!!!"

"Barangkali aku akan minta cuti saja," keluh Moira pada Agnes, kawannya, juga pegawai customer service."Lakukan sajalah kalau itu yang terbaik. Bukankah selama kau bekerja di sini belum pernah cuti?" sahut Agnes."Ya, ambillah, paling tidak kau lebih tenang. Ada pergantian suasana. Aku dengar kau uring-uringan terus gara-gara tiap hari orang memanggilmu…" kata Ellena."Stop! Jangan sebut nama Bella lagi!"Hening. Ellena dan Agnes yang semula hendak mentertawakannya mendadak diam. Mereka tak menduga wajah Moira mendadak jadi beringas seperti Thor, Dewa Petir yang jika sedang murka melemparkan petirnya."Baiklah, aku akan mengambil cuti, pulang mengunjungi orang tua dan adik-adikku," kata Moira sesaat kemudian.
***

Dua hari setelah kejadian itu Moira tak mengambil cuti. Ia malah menulis surat permohonan mengundurkan diri. Tentu saja dengan kesadaran penuh ia membuat alasan-alasan lain agar tetap dibilang "profesional" dan tak diolok-olok kawan-kawannya. Masak hanya karena dibilang mirip Bella ia mengundurkan diri?

Padahal imej Hasselbrook Bank boleh dibilang meningkat. Selain pelayanan Moira yang cekatan ada faktor lain yang tak boleh dikesampingkan. Apalagi kalau bukan kemiripan Moira dengan Bella. Paling tidak, bank tempat Moira bekerja sedikit jadi punya "nilai tambah" di samping mottonya yang paling terkenal di seluruh penjuru : "kami ada karena anda".Kristanna, sang atasan sudah tentu memohon agar Moira membatalkan niatnya untuk mengundurkan diri. Tapi Moira tetap pada keputusannya. Baginya, pekerjaan sebagai customer service seperti dirinya bisa digantikan oleh siapa pun.

"Apakah kamu sudah memikirkan akan melakukan apa setelah keluar dari sini?" tanya Kristanna.Moira tak menjawab. Kalau menjawab dengan jujur Moira khawatir dibilang terlampau percaya diri. Sedangkan kalau ia menyembunyikan jawaban sebenarnya dengan berkilah, "O, saya sudah punya pekerjaan lain," atau segudang alasan lain Moira khawatir nanti dianggap sok. Sombong betul, belum menghasilkan prestasi dengan predikat luar biasa guna memajukan perusahaan enak saja mengundurkan diri!

Moira toh masih muda. Karirnya masih panjang. Ketahuilah, seperti profil anak-anak muda sukses yang pernah dibaca di sebuah majalah dan tabloid tak ada salahnya, misalnya mencoba melakukan pekerjaan lain di luar kemampuannya. Bereksperimen, begitulah. Barangkali, pikir Moira aku bisa mengerjakan pekerjaan lain di luar latar belakang pendidikanku. Siapa tahu ia akan menjadi sukses seperti tulisan-tulisan dalam profil itu… Pokoknya jangan di depan lagi sebagai customer service, teller di bank lagi. Ya, Moira akan mencari pekerjaan lain saja setelah paling tidak mengubah penampilannya selain mungkin…Lantas, bagaimana dengan Manolo? Wah, dia pasti protes kalau Moira memotong rambut dan mengganti dandanannya sedrastis mungkin hanya untuk dibilang agar tidak mirip Bella. Alamak, persetan dengan Manolo! Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia pasti akan menerima diriku apa adanya walau aku harus berganti penampilan. Toh, cinta kita bukan cinta-cintaan omong kosong seperti masa di sekolah, bukan? Nah, barangkali ini bisa jadi pembuktian. Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menguji kesetiaan Manolo.

"Moira, halo? Knock, knock, are you still there?"Lamunan Moira buyar."Oh, eh…""Nak, lebih baik pikirkan dulu baik-baik mau ke mana. Masih untung aku berkata begini karena aku tahu sesunguhnya kamu bisa lebih berkembang lebih baik di sini. Nah, coba pikirkan dahulu baik-baik. Begini, aku bersedia memberikan ijin cuti bila hal itu bagi dirimu memang perlu,"

***
Maka, tanpa mengadakan diskusi lagi dengan Manolo di samping ia merasa hal tersebut bakal membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran saja, dipotongnya segera rambutnya. Tentu saja Moira melakukannya dengan terlebih dahulu melakukan banyak pertimbangan, selain riset kecil-kecilan model rambut dan dandanan apa yang cocok dengannya. Dibukanya berbagai majalah-majalah mode. Moira bahkan sempat berkali-kali keluar masuk butik dan pelbagai toko pakaian sebelum memangkas rambutnya.

Usahanya tak sia-sia. Setelah mengganti potongan rambut dan penampilannya, Moira menikmati betul kehidupan yang benar-benar aman tenteram, tanpa direcoki komentar-komentar, "Maaf, sepertinya saya mengenal anda?" Dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu…O, ya selain memangkas rambutnya, jika bepergian Moira juga mulai membiasakan diri mengenakan kaca mata hitam yang modis. Pokoknya, serapih dan serasi mungkin tanpa ada kesan mirip Bella Porizkova lagi…
Kurang lebih selama seminggu Moira merasa seperti lepas dari rangkulan harimau. Ia bebas berjalan-jalan di mal, supermarket, kafe, warung, kampus, gang, kelokan jalan dan berbuat apa saja tanpa ditegur, "Maaf, sepertinya saya mengenal anda?" lagi. Kepada Manolo ia menyatakan diri untuk tidak bertemu sementara waktu.

Ia juga pulang ke rumah orang tuanya, berkumpul dengan adik-adiknya. Yeah, Moira betul-betul merasakan kebebasan itu sambil di waktu senggang mengulang-ulang potongan syair lagu Sting, Englishman in New York yang paling digemarinya, "Be yourself no matter what they say…be yourself no matter what they say…"

Setelah seminggu berselang menikmati kebebasannya, Moira mulai memikirkan apakah dia akan bekerja di Hasselbrook Bank lagi. Setelah dipikir matang-matang Moira tak jadi mengundurkan diri. Ia sudah diberi waktu seminggu untuk cuti. Dan sekarang waktunya sudah habis. Hmm, bagaimana, ya? Bosan juga, nih. Tapi sulit lho, bukankah kamu bekas karyawan bank ternama? Seharusnya aku bisa kerja di bank lain yang, ehm, setara kredibilitasnya dengan bank tempat kerjanya dulu.

By the way, aku akan mencoba melamar di bank...Tapi bank…mana, ya? Wah, harus bolak-balik baca koran dulu, nih cari iklan lowongan pekerjaan. Oke, oke. Tapi bersabarlah. Di kota yang sumpek dan hiruk pikuk ini tentu tak bisa secepat itu mencari pekerjaan, apalagi pekerjaan yang sama. Jadi, bersabarlah Moira. Kata orang bijak, sabar itu subur. Baik, baik. Tapi aku akan coba mencari pekerjaan lain. Dibolak-baliknya lembaran koran. Bagaimana kalau sekretaris? Pengalaman harus dua tahun, memiliki kendaraan sendiri,…salesgirl, pramuniaga, penjaga toko buku, penyobek karcis bioskop, petugas kasir, manajer, kepala produksi, supervisor, penulis skrip, foto model, bintang iklan, penyanyi pub, presenter televisi, reporter, asisten apoteker, fotografer, editor, penerjemah, penyanyi keroncong, penjaga loket stasiun, resepsionis, petugas front office di hotel, waitress…

Setelah membaca iklan lowongan kerja yang penuh sesak dengan tulisan kecil-kecil itu Moira tertidur.

***

Pagi yang cerah suara jam wekker berdering di telinganya. Moira terbangun. Ia bersiap-siap memulai hari pertamanya bekerja dengan perasaan baru. Ya, Moira sudah mengganti penampilannya dengan dandanan yang tetap cantik dan modis. Agak lama Moira bersolek di depan cermin. Ia berpikir dandanan barunya bakal membuat surprais di hari pertamanya bekerja. Dan, yang paling penting tak ada lagi yang menyamakan dirinya dengan Bella Porizkova.

Tepat jam delapan pagi Moira sudah duduk dengan manis di meja kerjanya. Ia senang teman-temannya banyak memuji penampilan terbarunya. Peduli setan apa pendapat Manolo nanti, pikirnya. Ya, seminggu berselang dan Moira memutuskan untuk sementara tak bertemu dengan kekasihnya. Dan, sebelum memulai pekerjaannya ia sudah menelepon Manolo agar menjemputnya nanti pada jam lima sore, waktunya pulang kantor. Ia juga penasaran ingin tahu komentar kekasihnya. Yeah, surprais, surprais!

Hari ini suasana Hasselbrook Bank tak terlalu ramai. Moira bisa mencuri-curi waktu dengan bermain game di komputer atau sekedar menyapa kekasihnya lewat SMS di handphone."Moira, ada tamu, tuh," bisik Cynthia di sebelah.Moira bersiap-siap. Diletakkannya map berisi formulir dan berkas-berkas yang biasa ia persiapkan untuk melayani nasabah. Seorang perempuan muda dengan blazer cokelat tua datang menghampiri mejanya. Barangkali hendak membuka rekening baru, mengurus permohonan membuat kartu kredit atau ATM atau hanya sekedar memprint buku tabungannya?

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sapa Moira.

"Pagi. Saya ingin membuka rekening baru,"

"Sebentar, saya akan serahkan formulirnya. Sebelumnya apakah anda pernah punya rekening di sini?"

Perempuan itu tak menjawab. Ia hanya bengong saja memandang wajah Moira. Moira tergeragap. Astaga, apakah ada yang salah dengan penampilanku? Apakah aku belum menghapus bekas lipstikku yang terlalu tebal? Atau bedakku terlalu tebal sehingga tampak menor? Bagaimana dengan maskaraku? Apakah kancing bajuku ada yang terlepas? Apakah posisi kacamataku melorot? Apakah dandananku tidak serasi? Apakah…apakah…apakah…

"Maaf,"

"Ya?"

"Sepertinya…sepertinya…sepertinya saya mengenal anda,"

"Oh?"
Perempuan itu menatapnya. Tak lama kemudian ia celingak-celinguk."Mmmm…sebelumnya saya mau tanya, kemana ya petugas pelayanan nasabah yang mirip sekali dengan Bella Porizkova yang terkenal itu?"

"Nggg… kebetulan dia sudah pindah," jawab Moira berbohong. Tapi bibirnya masih menyungging senyum, berusaha menyembunyikan sikap kikuknya.

"Pindah?"

"Ya, pindah,""Tapi saya masih ingat namanya…namanya…Maria, Merry atau Moira begitu,"

"Nggg…Moira?"Entah kenapa Moira malah jadi kikuk, bahkan membenarkan maksud perempuan itu."Entahlah, aku lupa siapa namanya yang persis. Tapi, maaf…sepertinya saya pernah melihat anda…" kata perempuan itu. Buru-buru Moira melakukan gerakan-gerakan kecil, menutup posisi name tagnya.

"Apakah anda masih ada hubungan saudara dengan aktris Catherine Zeta Jones? Ya, ya, anda mirip sekali dengan pemain film musikal Chicago yang terkenal itu. Bahkan potongan rambut anda persis dengannya di film itu…ngomong-ngomong, apakah anda…"Moira bengong. Ia tak tahu apa yang harus dijawabnya. *

0 Comments:

Post a Comment

<< Home