Halaman blog site dokumentasi karya-karya penulis Donny Anggoro

Monday, January 30, 2006

Tulisan Kawan & Media

Wednesday, August 30, 2006

Jali Tokcer oleh Sopoiku

selengkapnya silakan klik:

http://terapikomik.blogdrive.com/archive/cm-9_cy-2006_m-9_d-14_y-2006_o-5.html

Komitmen untuk komik (cergam) Indonesia E-mail

www.Veetra.com, Tuesday, 20 June 2006

oleh Karna Mustaqim

Mungkin gw terbilang banyak omong soal ini. Tapi gw rasa pikiran yg pengin gw sampein berikut ini banyak yg merasakan juga dan masih menjadi `misteri'. Pertama-tama, gw gembira dgn beberapa gejala perkomikkan tanah air. Sejak tahun 1998, gw kenal beberapa nama yang punya komitmen tinggi dengan komik. Tentu saja tidak semuanya gw kenal face to face atau semua yg terlibat gw tahu satu persatu, tetapi setidaknya gambaran umum yg ada cukup menggembirakan. Dulu sekitar tahun 1996 atau 1997, gw menyertai teman gw ke sebuah rumah di jakarta pinggiran sedikit. Ketemu dengan seorang bapak dan beberapa anak muda (senior), bicara soal komik. Sedikit yg gw tau, si bapak orang yg mau modalin semangat anak2 muda itu, ngasi tempat utk kerja, komputer dsbnya. Belakangan gw tau itu ada anak QN-nya.
Kemudian gw sempat nemenin teman2 yg lain, kebetulan piknik ke jokja, disana ketemu beberapa anak2 di rumah kontrakan sekaligus studio grafis. Kenalan lagi dgn beberapa orang yg gelutin komik. Dari sana sampai sekarang, gw sendiri lebih hanya sebagai pemerhati dari jauh saja. Kemudian gw kenal dengan Wahyu yg waktu itu ngepalain anak2 di MKI. Hubungan baik dgn mas Wahyu ini berjalan masih melalui email saja, beberapa kali datang ke pameran komik tapi gak pernah ketemu muka dgn dia, mungkin gw masih enggan terlibat langsung. Setelah beberapa kali pameran gw ngeliat beberapa studio komik yg setia dengan idealis mereka dan aktif membuat komik, ada banyak yg mungkin gw tidak bisa mengingat semuanya. Kemudian gw sempat bertelepon dgn ibu rahayu dari KKI, selanjutnya kenal nama
mas Hikmat dan akhirnya sering ngikutin diskusi yg dia adain.

Belakangan gw kenal Beng yang aktif. Dari beberapa tulisan dan milis, gw tau nama Wahyudin dan Donny Anggoro, dan dari mas Ahmadzeni sy masuk ke milis komik alternatif dan komik indonesia, yg sebelumnya gw tau dari browsing di internet saja.

Singkat kata, dari awal yg gerakannya bermula dari pameran dan diskusi diantara komunitas, sekarang banyak sudah
komentator dan pengamat komik. Lebih menggembirakan lagi rupanya sudah ada jurnalis yg meneliti komik. Gw melihat itu fenomena yang baik, tetapi setelah gw sadari komik indonesia kita belum menjadi perhatian masyarakat
secara umum. Memang bukan gw menafikan adanya pemberitaan di media-media, tetapi kegiatan sporadis yang dulu gw lihat ketika tahun 1996-an, sehingga sekarang ini tahun 2006 masih belum terorganisir.

Kita tahu organisasi dan komunikasi antar komunitas komik itu penting sekali, karena itu dengan adanya supporter
yang beragam, gw sekedar menyarankan supaya ada pengorganisasian antara komunitas komik ini. Misalnya di buatlah sebuah dewan untuk memikirkan visi dan misi komik indonesia. Karena kepikiran gw nyoba sekedar membagi
beberapa jenis komunitas yang terbentuk di sini, tetapi ini hanya pandangan dari seseorang yg gak terlibat terlalu dalam perkembangan dunia komik lokal. G wpribadi masih menjaga jarak pandang suapaya tidak terlalu emosional.

1. Pembaca komik.
Kelompok pembaca komik ini sangat beragam, dan bisa dipastikan jumlahnya akan meningkat terus. Peminat komik yang banyak menjadi salah satu alasan kenapa organisasi komik harus ada. Tetapi menjadikan pembaca komik mempunyai `demand' sama komik buatan lokal itu menjadi suatu masalah yang belum terpecahkan.
Pembaca komik ini mempunyai komunitas2 tersendiri, baik di internet maupun di taman bacaan. Penjual komik di dekat kampus2 dan taman bacaan di kompleks ruko tidak akan surut dari pengunjung.

2. Pemerhati komik.
Orang-orang yang rajin mendatangi pameran komik bukan sedikit, tetapi kadang2 informasi ttg pameran sering tidak tersebar luas. Kolektor komik pun gw masukkan sebagai pemerhati komik, karena adanya perhatian terhadap komik bukan saja dalam bentuk buku, tetapi juga dalam koran dan majalah.

3. Pengamat komik.
Kelompok pengamat ini gw masukkan sebagai pengamat yang mengadakan diskusi, seminar dan menulis di media-media. Termasuk kedalam ini para editor komik di penerbitan2.

4. Pembuat komik.

Kelompok ini semakin lama semakin besar, ada yg perseorangan dan ada yg berkelompok. Gw melihat seperti komikus2 di bawah penerbitan Elex, Mizan dll sebagai indikasi bahwa idealisme membuat komik masih hidup di remaja2 usia muda. Perkiraaan gw, idealisme ini masih belum tercemar oleh kebutuhan financial yg mendesak. Perlu
dipahami dan diakui bahwa mencari nafkah dari komik bukan pilihan yang mudah. Karena itu gw pribadi lebih mikirin bagaimana potensi2 yg ada dan terus membesar ini jangan sampai menghilang satu persatu dikarenakan bertambahnya usia dan tanggung jawab secara financial. Diluar itu, komikus2 dengan semangat indie dan spirit underground pun tak pernah surut. Artinya supply komikus masih akan terus tersedia dan bertambah, yang perlu ditingkatkan adalah kualitas agara seimbang dengan kuantitas yang ada.

5. Penerbit komik
Sejauh yg gw ketahui, komik merupakan perluasan lini dari sebuah penerbitan, atau suplemen di majalah atau koran.
Sebagai suplemen jumlah yang aberedar masih sangat kurang. Menjadikan komik sebagai nafkah masih tanda tanya karena itu menjadi penerbit khusus komik pun masih menjadi tanda tanya, dan itu artinya peluang ini terbuka.

6. Milis komik
Milis komik mungkin berkembang sangat pesat, beragam milis komik tumbuh. Ada yg aktif dan ada juga yg pasif. Milis dan forum2 yg menyediakan wadah utk para pembaca komik merupakan tempat yang baik untuk menyebar informasi dan mendapatkan informasi.

7. Marketing komik
Urusan memasarkan komik mungkin bagian yg paling riskan, gw sendiri tidak begitu tau siapa yg memang bergerak dengan serius mengurus promosi dan pemasaran komik2 yg ada. Tetapi, dari infomedia yg ada, marketing komik bisa dilakukan oleh orang-orang media yg butuh berita infotaiment. Dalam perusahaan penerbitan, mungkin bagian research & development yg ngembangin bisnis. Jadi, marketing komik merupakan titik krusial utk memajukan komik, dimana komik harus menjadi sesuatu yg profitable, baik produknya maupun acara2nya.

8. Konseptor komik
Gw yakin dan pasti, dalam setiap kelompok2 yg gw sebut diatas pasti ada satu dua orang yang memikirkan masa depan komik. Dalam artinya tujuan mikirin komik bukan untuk mengedepankan atau mempublikasikan kelompoknya atau pribadinya, idealisme masih menjadi sandaran. Konseptor disini bukan mikirin sebuah cerita komik, atau gimana
nerbitin majalah komik, atau gimana ngurusin pameran komik, atau gimana nulis ttg komik. Tetapi mikirin untuk mengorganisir kegiatan komik supaya saling terintegrasi satu sama lain.

Maaf kalau banyak yg diomonginya. Tapi email ini adalah sebuah ajakan untuk menyatukan kegiatan secara bersama, tidak lagi bergerak sendiri-sendiri. Tetapi bukan berarti semuanya harus berdasarkan persetujuan bersama, tidak bukan itu. Maksud pengoragnisasian ini adalah membentuk sistem yg terintegrasi, dan karena itu diperlukan orang-orang yg menjadikan dunia komik sebagai sebuah cita-cita. Gw sendiri jujur aja, cari makan di komik masih tidak memungkinkan, tetapi meninggalkan dunia komik itu sendiri juga sama mustahilnya. Tetapi denga berkerjasamanya semua elemen2 seperti yg gw contohkan kelompok2 diatas, maka komik indonesia dijamin akan setidaknya diketahui oleh masyarakta umum dulu. Dengan jujur gw katakan perlu sekelompok orang yang maaf, tidak lagi mikirin urusan
perut tetapi punya idealisme terhadap perkembangan komik untuk ngurusin dan ngorganisir kegiatan komik di indonesia. Pengorganisasian itu membutuhkan minimal beberapa pekerja:
1. Mobilisator
2. Komunikator-
3. Mediator
4. Distributor
5. Promotor

1. Mobilisator ini adalah bagian man-power. Tidak bekerja sendiri, tapi merupakan kumpulan dari perwakilan komunitas komik yg ada, tugasnya adalah untuk mengajak sebanyak mungkin orang2, anak2 muda utk dikerahkan dalam kegiatan2 komik.

2. Komunikator adalah tugas daripada PR, tugasnya adalah `halo- haloin' orang kalau ada kegiatan: lomba, pameran,
acara diskusi di tv, di toko buku dsbnya. Juga tidak bekerja sendiri, komunikator menjadi tempat pusat informasi, arus keluar masuk informasi ada di sini.

3. Mediator, adalah tim atau perseorangan yang ahli dalam menjadi perantara untuk negosiasi, dibedakan dari komunikator, tugas mediator hanya mencari jalan tengah antara kegiatan yg ingin dilaksanakan dgn donatur atau sponsor yg berniat memberi dukungan, sehingga tercapai kesepakatan yg saling menguntungkan. Mediator pula yg menjadi penghubung2 ke media-media peliput berita.

4. Distributor dan Promotor boleh jadi orang2 yg ada diluar komunitas komik, karena tugas mereka adalah membantu
dan menyokong secara profesional. Distributor bekerjasama dengan komunikator utk menyebar luaskan info2 perkomikkan, atau kalau sudah ada produk komik yg bisa dijual, distributor ini mendapatkan jatah utk membantu distribusinya.

5. Promotor, adalah penyedia dana financial. Bargaining position perlu menjadi perhatian bagi Mediator. Karena itu untuk mendapatkan promotor yang bersedia menjadi penandang dana untuk kegiatan komik, maka kegiatan komik yang diadakan harus mempunyai perencanaan yang matang dan terstruktur. Ada planning dan strategi untuk mencapai tujuan tertentu melalui kegiatan komik yg diadakan, harus pula ada kesinambungan berterusan. Karena semua itu bukan hanya melibatkan idealisme tetapi juga `financial'. Financial tentu bukan sekedar masalah keuangan belaka atau profit making, tetapi lebih kepada pengedalian dana yang ada untuk mencapai tujuan2 terbatas yg bisa di capai melalui strategi dan planning.

Ini sedikit sumbang saran yg bisa saya sampaikan, semoga bisa menjadi pemikiran bersama untuk kemajuan dan keberadaan komik cergam indonesia. Dan gw rasa, sudah tersedia orang2 yg berkompeten untuk memimpin dalam tim tersebut. Ada martabakers, mas surya dkk yg dekat dengan media. Ada mas hikmat dan beng yg pandai mengolah kata, ada mas andi yg punya toko komik indonesia dan tentu saja paling rasional dan bisa diandalkan utk urusan logika
finansial, dan ada zeni dan wisnoe yg komitmen bikin komik terus, dslbnya. Trims.
***Karna Mustaqim, diambil dari milis MKI. [VM]



Sinar Harapan, 24 Januari 2006

Kurniasih Berbicara Perempuan dan Metafora

Jakarta – Tidak penting novelis itu lelaki atau perempuan, yang terpenting adalah karyanya. Demikianlah dilontarkan A Badri AQT di antara para peserta forum diskusi rutin dua mingguan Meja Budaya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, Jakarta (20/1) mengangkat kumpulan cerpen Kurniasih berjudul “Kembang Kertas”.Buku terbitan Jalasutra setebal 200 halaman berisi 13 cerpen dalam diskusi itu menghadirkan pembicara Yonathan Rahardjo dan moderator Donny Anggoro. Salah satu tema yang diangkat memang soal keunikan pilihan bahasa Kurniasih.

Dengan mengganti beberapa kiasan terhadap peristiwa, analogi, dari aspek bahasa karya Kurniasih punya fenomena dan keunikan tersendiri.Kurniasih, penulis yang kini juga bekerja sebagai editor, menceritakan proses kreatifnya dimulai sejak kuliah saat ia mengagumi karya antara lain Franz Kafka, Virginia Wolf, dan Leo Tolstoy.Yonathan Rahardjo mengatakan bahwa metafora yang dibangun Kurniasih pada beberapa cerpennya berbaur dengan tarikan realitas, menggumam dan melamun dalam objek yang warna-warni, antara objek pelaku, penyerta maupun penderita, dari narasi ke narasi.Namun, seperti yang diungkapkan peserta lainnya, Nurudin Ashyadie, dia memang mendapatkan karakter dalam karya Kurniasih ini – terutama pada cerpennya “Menari” – tak jauh berbeda dengan pilihan penulis Virginia Woolf terutama pada The Waves.Walaupun Kurniasih tak pernah membaca novel The Waves (1931) bagi Nurudin, kata-kata kunci Virginia berhasil menghadirkan suasana ketiadaan, sedangkan pada karya Kurniasih tidak. Seperti lontarannya terhadap Kurniasih, Nurudin juga mempertanyakan gaya penulisan penulis sekarang yang kadang memakai metafora bukan untuk menjelaskan lewat tubuh dan instansi lain, namun justru lebih terkesan sebagai “sebuah pengasingan”.

Gaya dan Gender Menurut Kurniasih, respons yang umum dari pembaca karyanya sejak awal disosialisasikan dianggap rumit. Bagi Kurniasih, visi personal dari karyanya adalah sejauh mana dia mengekspresikan realitas melalui karya yang dia tulis. “Bagaimana menangkap peristiwa yang berseliweran di hadapan kita,” paparnya. Pengarang ini kemudian mengatakan bahwa untuk menghadirkan bahasa ungkap terhadap realitas ini, dia menampilkan eksplorasi dan gaya bercerita. Eksplorasi monolog interiornya pun kerap dia ciptakan sekali pun secara konvensional peristiwanya jadi sedikit. “Peristiwa yang sedikit misalnya ‘Menara’ yang mengisahkan tentang waktu yang semu, ‘Sang Pelaut’, tentang kehilangan. Sedangkan agak konvensional dalam cerpen yaitu ‘Pasal Kasih’ dan ‘Mata-mati’,” paparnya.

Donny Anggoro mengungkapkan, daya persuasi adalah bagian penting selain diksi – pengucapan yang khas dan kisah yang telah dibangun. Daya persuasi ini sangat mendukung suasana imajinasi si pembaca ketika menikmati karya sastra yang disajikan khususnya pada novel atau cerpen. Di luar teknik penceritaan, Kurniasih juga mengaku tertarik soal gender. Wacana soal perempuan terutama soal kungkungan, penjara mitologi terhadap kaum perempuan menurutnya sangat menarik. Dalam buku ini, selain ada ulasan Bambang Sugiharto yang mendedah wacana eksistensialisme, Aquarini Priatna Prabasmoro memang mengulas juga pola ungkapan bahasa Kurniasih dan kaitannya dengan gender.


www.indosiar.com
Agustus 2005

RAGAM
Lika-liku Komik Indonesia II



indosiar.com, Jakarta - Populernya kisah remaja yang ditulis dalam bentuk komik mengangkat sejumlah nama seperti Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. Akan tetapi kisah remaja yang diangkat sebagian besar mengangkat adegan percintaan, sehingga hal tersebut menimbulkan adanya razia yang dilakukan Polisi pada tahun 1967. Tak heran apabila komik berkisah tentang remaja metropolitan tersebut menurun popularitasnya. Usai kehadiran komik berkisah remaja metropolitan, kemudian muncul komik superhero gelombang kedua yang diusung sejumlah komikus seperti Ganes TH dengan Si Buta Dari Gua Hantu-nya, Hans Jaladara dengan Panji Tengkorak-nya, dan Djai dengan Jaka Sembung-nya.

Pada saat yang sama muncul pula sejumlah superhero yang terinspirasi tokoh komik amerika. Sebut saja salah satunya Laba-Laba Merah karya Kusbramiaya yang terinspirasi dari tokoh Spiderman. Sebenarnya saat itu muncul juga komik lama, namun ternyata kalah bersaing.

Panjang dan berlikunya sejarah komik Indonesia menimbulkan pertanyaan mengapa Komik indonesia sempat mengalami masa jaya sementara saat ini sepertinya ter-engah-engah ? Menurut pernyataan Surjorimba dari komikindonesia.com pada Kompas mengatakan,"Waktu itu karya-karya komik sangat bagus dan masyarakat gila baca komik sehingga komik jadi tambang emas bagi penerbit. Selain itu, jadi komikus sudah dianggap sebagai mata pencaharian sehingga banyak komikus disana-sini".

Jika dilihat dari apa yang diungkapkan oleh Surjorimba, sepertinya pekerjaan sebagai komikus tak lagi menjanjikan. Tak heran apabila dalam artikel Komik Tak Pernah Mati yang diterbitkan oleh Sinar Harapan, 16 Oktober 2004, Donny Anggoro mengatakan, "Komikus Indonesia rata-rata "bersembunyi" dalam profesi lain misalnya animator film iklan, desainer grafis, dan ilustrator buku/majalah seperti halnya sastrawan yang bekerja sebagai wartawan, copywriter perusahaan advertising, atau editor sebuah penerbitan notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan terbaiknya dalam menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung senada (kebanyakan manga dan anime Jepang). Atau ketika mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika, tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul secara visual cenderung gagal secara naratif".

Dalam artikel Sejarah Komik Indonesia: Kepala Tanpa Leher, yang diterbirkan Sinar Harapan, Donny Anggoro pun menambahkan, "Memang bukan hal mudah memunculkan semangat seorang pencipta. Para komikus umumnya bekerja sendiri lantaran komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja. Masa-masa R.A Kosasih, Ganes Th., Hasmi, dan Jan Mintaraga yang bisa hidup sepenuhnya dari membuat komik agak sulit untuk terulang kembali. Konsentrasi komikus kita di masa kini umumnya terpecah antara mengerjakan ilustrasi pesanan dengan membuat komik sebagai pencapaian kreativitas pribadinya".

Walau demikian, kini muncul sebuah kelompok pecinta komik yang menamakan dirinya sebagai Masyarakat Komik Indonesia. Munculnya kelompok tersebut merupakan wujud bahwa pecinta komik Indonesia masih memiliki eksistensinya. Walaupun jumlah komik Indonesia yang hadir belakangan ini masih dapat dihitung dengan jari, setidaknya mereka optimis bahwa satu saat nanti Komik Indonesia dapat menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah kegiatan rutin maupun pameran yang belum lama ini dilakukan. Sebut saja Pameran Komik dan Animasi Nasional yang dilakukan tahun 2000 lalu.
(Berbagai sumber/rev)


Donny dan Karyanya:
Sebuah Peristiwa dari 'Sosok yang Tercecer'

Oleh: Sihar Ramses Simatupang
Jurnalis dan penulis. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpennya "Narasi Seorang Pembunuh" (Dewata Publishing, 2004) dan sekarang dalam proses cetak sebuah novel "Lorca: Memoar Penjahat tak Dikenal" oleh Penerbit "Melibas". Tulisan ini dibawakan dalam diskusi TENTANG SASTRA & PROSES KREATIF di Perpustakaan Pendidikan Nasional, 18 Juni 2005.

"Don, pernahkah ada buku esai yang dilahirkan khusus untuk membuat esai. Sebuah esai yang utuh, bukan sebuah rangkaian, bunga rampai dari sekumpulan esai yang diambil dari media massa?" Tanya saya pada seorang penulis, suatu hari, suatu ketika.
Pertanyaan ini, punya dua implikasi.

Pertama, saya ingin mengatakan tentang fenomena umum di lingkungan sastra Indonesia, khususnya dunia esai, bahwa esai sastra saat ini, yang menggejala adalah (sebuah) esai yang berada di tengah hiruk-pikuk media massa. Esai, yang banyak bergelayut dengan aktualitas, kehangatan isu, dengan isi kontekstualitas, namun edukatif, referensi, persoalan intrinsik dan ekstrinsik teks yang kemudian malah melemah.

Kedua, saya ingin menyiratkan tentang dialog dua orang kawan yang terjalin – sebagaimana pada beberapa kawan saya dan kawan Donny yang lain – tentang percakapan kami (dan anda), sebagai ‘saksi’, ‘pelaku’ dan ‘pengamat’ sastra.
Seperti esai ‘Membaca Esai’-nya Arief Budiman, sulit juga bagi saya mengomentari esai seorang Donny, apalagi itu dilakukan sekaligus dengan ‘membaca’ cerpennya. Barangkali, perlu satu teropong untuk melihat dua sosoknya dari kejauhan. Mencoba melihat Donny sebagai seorang pengkarya ‘kreatif’ dan pengkarya ‘di antara sekian banyak leluhurnya, dan di antara ‘para pengkarya yang lain’ yang bertebaran di muka bumi.

Donny Anggoro, adalah bukan seorang penulis esai dan fiksi, yang berasal dari ‘lingkaran pusat’, dari komunitas-komunitas yang tokoh penulisnya, terkenal (meminjam istilah penerbit terhadap seorang penulis) atau punya akses untuk terkenal.
Donny, seorang urban, kosmopolit, darah Jawa – sedikit keturunan tapi tak bisa bahasa Jawa, apalagi bahasa keturunan dengan lancar, seorang lulusan pariwisata yang ‘ngotot, ngeyel, ngebut nyari referensi sebanyaknya, dari seni sampai ke sastra, dari esai sampai ke ‘komik’ (hal yang disukainya, termasuk sosok ‘Tintin’-nya Herge).

Esai: Suara-suara Pinggiran?
Isu esai yang diangkat Donny dalam buku "Sastra yang Malas" dengan mengemukakan "Selamat Datang Sastra Buruh", "Polemik Sastra Cyber: Sebuah Perdebatan yang Timpang", "Karya Sastra Cina di Tengah Diskriminasi Politik dan Budaya", "Geliat Penerbit Alternatif Tempo Doeloe", ChickLit: Buku Laris Penulis Manis", memperlihatkan fenomena kritis, karena ditulis oleh seorang yang berada di luar posisi sentral, sehingga tanpa beban. Esai-esai yang ditulis resah, gelisah, baik dalam fenomena dan isu sastra, di tengah gejolak isi, kualitas atau bahkan sekedar eksistensi.

Sastra yang Malas, yang diakuinya diilhami dari kumpulan cerpen FX. Rudi Guinawan yang berjudul "Mata yang Malas", bagi saya, memperlihatkan sastra yang memang lambat bahkan malas, dalam menangkap fenomena, isu, untuk sebuah dinamika sastra. Lihatlah perhatian publik atas sastra, sangat sempit, lambat pada suatu periode, terhadap peristiwa sastra, komunitas sastra, kelahiran sebuah karya, minimnya pengamat atau esais bahkan resensiator buku sastra. Setelah manifes-lekra, sastra kontekstual, revitalisasi sastra pedalaman, penyair 2000, science fiction, sastra cyber, sastra wangi, sastra religius, dan beberapa ‘jenis’ isu lainnya.

Ya, sastra memang malas, Don… Mengutak-atik isu, tapi karya yang lahir banyak yang luput dari perhatian, tertinggallah bermacam analisa tema, alur, plot, karakter, perwatakan, penokohan. Apalagi, yang kau sebutkan semua di dalam esaimu tadi.
Ada hal lain di luar pemikiran tentang esai Donny, yang dilontarkan oleh seorang penulis lainnya, saat berbincang dengan saya, seputar esai-esai yang berkembang baik di media massa atau pun internet. Cetusan ini, pun dilontarkan oleh seorang penulis esai atau kritik. "Har, si Donny itu kalau menulis, esainya banyak referensi saja, terlalu data, seperti jurnalistik," ujarnya.

Fenomena ini, menambah pemahaman empiris saya, betapa esai, akan punya kecenderungan tambahan: ada esai yang sarat isu sehingga cocok untuk di media massa, ada esai yang penuh data dan ‘agak jurnalistik’, dan pemahaman esai yang saya dapat dari dunia kampus ‘ada esai yang mendidik baik dari data, referensi, juga ide pencerahan si esais lewat tulisannya.
Yang manakah posisi esai Donny? Jelas, sedikit sekali esainya yang punya bobot ‘bom isu’, sesuai kriteria pertama tadi. Esainya lebih mengangkat persoalan ‘suara yang lirih’ dari eksistensi individu, komunitas, kelompok penulis di rimba sastra Indonesia. Suatu hal yang bukan hanya hari ini, tapi sejak ‘tempo doeloe’.

Donny dalam datanya sangat lengkap dan rapih tersusun, itu bukan hanya pendapat saya tapi kawan-kawan di lingkar penulis. Fenomenanya, si Donny tadi (saya seperti menggosip saja…) sering kurang berani mengetuk palu yang keras, dari esai yang dihasilkannya. Tapi bisa saja, itu justru kelebihan Donny dalam esainya.

Sekumpulan Orang ‘Sakit" di Kota Antah-Berantah

Donny itu urban, pernyataan ini seperti menyodok biografi saya sendiri (juga penulis lain di kota Indonesia yang riwayat hidupnya bertukar kota dan wilayah menurut kehendak orangtua dan nenek moyangnya). Tinggal di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dengan membawa beban romantisme alam pedesaan, sementara pikiran dan mata dicekoki wisata teknologi, pencakar langit, symbol yang fisikal, terkadang absurd.
Dalam kegamangan itulah, berbagai latar penulis urban itu hadir dan lahir dalam karyanya. Menabrak-nabrak ketidakfasihan latar biografi, ada yang bicara desa, ada yang bicara kota asing.

Donny adalah salah seorang dari penulis urban yang mewujudkan dunia ‘antah berantah’ sebagai latar tokoh-tokohnya pada antologi cerpen "Dan Cerita-cerita Lainnya". Lebih ‘ndableg’, ‘liar’, ‘nyleneh’ dari Karl May yang meskipun tak pernah ke negeri lain tetapi masih mencari referensi nama kota dan wilayah untuk latarnya, seperti ‘galaksinya’ Supernova, dunia Alice in Wonderland, atau bahkan semacam latar kota asingnya ‘Isabel Blumenkol" karya Pamusuk Eneste itu.

Namun, kalau diperhatikan, di luar nama kota itu, Donny punya referensi kota yang tak berbeda dengan referensi dunia nyata. Barangkali bukan di Jakarta, barangkali di New York, Kuala Lumpur, Surabaya. Seolah dengan kota yang namanya ‘aneh’, jalan yang ‘aneh’ itu, dia lebih ‘unik’, ‘wah’ atau ‘bebas berimajinasi’ atau bahkan ‘misterius’ sehingga si pembaca tertarik untuk masuk ke labirin kota maya yang dijabarkannya.
Tokoh dalam cerpen Donny juga tak ada yang ‘beres’, baik dalam perilaku, tabiat. Sakit, gila, pembunuh, dengan penceritaan yang masuk akal, halus, sopan tapi nyelekit dan membuat kita heran sekaligus sebal pada si tokoh.

Cerpen-cerpen Donny mengejar biografi seorang yang timpang pada kondisi itu. Jenderal Biggie di kota Macondo yang hilang begitu saja dan meninggalkan istrinya Lula, Miquel Otero Silva yang dikejar lelaki pembunuh-homo-iseng, Olan yang dibunuh oleh tokoh aku karena selalu hadir walau tak diundang, Charlos yang mencintai pelacur Nina bahkan setelah puluhan tahun.
Dari cerita unik yang saya paparkan singkat di tulisan kali ini, saya juga ingin mengungkapkan bahwa bila referensi yang detail di esai Donny membuat esainya sangat menarik untuk pendataan dan ilmu pengetahuan si pembaca yang awam sekali pun, justru konsekwensinya berbeda bila pada cerpen.

Cerpen Donny yang memperlihatkan titian sabar si cerpenis dalam membentuk imajinasi tokoh, konflik dan latar kota. Bahasanya yang dituturkan lambat, karena detail dan penuh dengan ‘kecerewetan informasi’ ini’, dapat membuat tokoh-tokohnya tidak bebas dari pandangan dan bentukan si ‘author’. Sehingga bisa saja, dapat beresiko jenuh. Tentu saja hal itu ‘terbayar’ dengan ‘perilaku tokoh yang aneh-aneh’, sehingga menimbulkan ‘konflik yang aneh-aneh’ atau ‘peristiwa yang aneh-aneh’.

Lihatlah sederetan kisah ini, seorang pengarang dibunuh hanya karena fansnya mendapatkan cerita yang dia tulis belakangan tidak mengenakkan hati si fans, si aku yang teman Jenderal Biggie dan simpati padanya malah menikahi istri Biggie yang hilang dan (bisa saja) kembali, Carlos bisa melupakan perkawinannya dengan Karenina Flavius Figaro karena setia pada pelacur Nina yang puluhan tahun tak lagi dijumpainya, Bifidus bunuh diri dengan pisah di TIM (Taman Ismail Marzuki) dengan terlebih dahulu memanggil kawannya sebagai saksi, Pedro bangkit kembali tapi malah dianggap biasa, dicuekin oleh kekasihnya Monica…
Hmmm, narasi tokoh ‘gila’ macam mana pula yang akan kau hasilkan, Donny? Kreatiflah, mencipta karya lain dari ‘sekumpulan awan misterius’ yang orang menamakannya dengan ide. Eh, kenapa tak kau coba juga gaya petualangan, Don, selain tokoh hebat kan perlu juga setting atau latar yang hebat?

Barangkali perlu membuat posisi lain untuk konteks cerpen Donny ini – bahkan di tengah sosok seorang Donny Anggoro ‘yang kontroversial’ sekali pun (mengingatkan kita pada kutipan dua paragraf di cerpen "Olan" yang dikabarkan meniru dua paragrafnya cerpen Putu Setia --walau kisahnya jelas berbeda, dimana peristiwa serupa pernah terjadi juga pada Basuki Resobowo di tahun 1960-an namun dia tetap menulis dan melukis setelah peristiwa itu). Bagaimana pun, divonis mati untuk berkarya, lebih mengerikan daripada ‘mati fisik dalam jeruji’ atau ‘sebenar-benarnya mati tubuh dan roh’. Karena itu, dengan mengindahkan semua peristiwa yang telah terjadi, tetaplah hadir dengan kreatif dalam karya fiksimu berikutnya, kawan…

Matabaca, September 2004

Bertemu, Berbincang dan Merasa
Oleh Septina Ferniati*

Baru kali ini saya merasakan bahagianya berada di Jakarta. Saya sudah beberapa kali ke Jakarta ketika suami masih bekerja di sana, tapi Jakarta selalu pengap, panas dan menyesakkan, belum lagi orang-orangnya yang kurang ramah. Namun, kali ini Jakarta sungguh berbeda. Sebelumnya, saya memang diundang MATABACA ke acara penutupan Gramedia Fair di Senayan. Saya sudah diberi tahu kenapa saya diundang dan harus datang. Rupanya saya menjadi salah satu pemenang lomba review buku yang diadakan majalah itu, dan saya yang selalu terbuka pada suami diminta oleh kru majalah untuk merahasiakan hal itu, untuk surprise, katanya.

Tentu saya senang, bahagia sekali malah, meski sempat kelabakan ketika harus menutupi rahasia dari suami. Saya sudah bersiap-siap. Setiap kali bepergian saya mewajibkan diri membuat sup ayam kampung istimewa untuk keluarga yang lama-kelamaan menjadi ritual menyenangkan, memastikan agar semua baik-baik saja. Anak saya terutama, ia yang paling harus saya jaga. Usianya yang masih rentan membutuhkan perhatian ekstra dari saya. Jadi, saya benar-benar memersiapkan segalanya. Mulai dari makanan, pakaian, mental. Saya rasa saya ingin menjadi pemenang yang bahagia. Kami ke Jakarta beberapa jam sebelum acara dimulai. Untuk kami, dua orang teman dekat berbaik hati menanggung sebuah kamar yang sangat nyaman dan bersih di sebuah hotel sederhana di daerah Cikini. Kami bercengkerama sebelum bersiap-siap untuk pergi.

Maklum, teman baik yang sangat jarang kami temui itu adalah teman-teman spesial yang amat sering berbagi. Setelah sempat terhalang macet sekitar
30 menit yang bagi saya seperti beberapa jam itu, sampailah kami di Senayan. Saya dag dig dug memasuki gedung Bung Karno, tahu sesaat lagi akan bertemu orang-orang yang selama ini mau menghargai tulisan saya, bergetar karena sudah lama mendamba untuk bisa secara langsung berbicara dengan Joko Pinurbo yang puisi-puisi parodinya begitu dikagumi suami, juga saya. Saya pun berharap bertemu tiga perempuan istimewa kru MATABACA yang selalu intens berhubungan selama ini. Tak lupa saya pun ingin bertemu Pak Frans Parera yang kini menakhodai MATABACA . Tentu saya tak seperti biasa, hingga saat saya benar-benar diminta naik ke panggung untuk menerima hadiah, seorang teman berkata saya tampak kurang pede (saya bahkan sempat lupa anak saya).

Saya memang baru saja di scalling, gusi-gusi gigi saya masih bengkak dan mengeluarkan darah. Namun, saya menafsirkan itu dengan "gugup akibat terlalu senang, terlalu bahagia". Itu kali pertama saya menang dalam satu kompetisi menulis. Saya tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya, sama sekali tidak. Di sela-sela acara itu, yang paling membahagiakan adalah perbincangan beberapa menit saya dengan Pak Frans. Saya tidak tahu bicara dengannya bisa demikian menggugah. Kami bicara sebentar saja, tetapi sangat intens bagi saya. Ia menyukai tulisan saya, katanya. Kenyataan itu tentu membuat saya sangat bahagia. Kami berbincang-bincang mengenai banyak hal. Dalam kebisingan yang lumayan memekakkan telinga kami berbicara tentang genre tulisan, perbedaan tulisan prosa dan ilmiah, stagnansi dan diari. Yang paling menyedot perhatian saya adalah ketika ia menyarankan agar saya menulis diari setiap hari, untuk melatih kepekaan saya menuliskan hal-hal personal yang bukan kebetulan adalah hal yang sangat saya sukai. Dalam buku Sastra yang Malas (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Donny Anggoro menyebut esai personal yang biasa saya tulis itu dengan sebutan "esai yang kesepian", esai-esai yang kurang mendapat tempat di ranah perbukuan kita.

Esai-esai semacam itu sebenarnya memang sangat jarang, sebegitu jarangnya sehingga saya pernah bertanya-tanya apakah esai semacam itu layak muat. Saya masih ingat seorang teman yang berpendapat bahwa tulisan semacam itu tidak ilmiah dan sama sekali bukan karya sastra, bahwa tulisan semacam itu dibuat hanya untuk mengesankan orang lain. Bukan kebetulan saya rasa jika Donny Anggoro menyebutnya esai yang kesepian. Bagaimana tidak jika ternyata hanya sedikit orang yang mau menuliskan hal-hal personal yang mereka alami pada media. Sebaliknya, hanya sedikit media yang mau menyediakan ruang bagi tersedianya bentuk tulisan
itu. Sering sekali orang menganggap bahwa esai personal tidak menarik karena tidak ilmiah.

Beberapa orang bahkan cenderung menganggap esai personal sebagai esai yang hanya mengedepankan sisi-sisi personal penulisnya, tanpa nilai tambah apa pun. Sudah bukan rahasia jika sebagian besar orang cenderung berpendapat bahwa tulisan ilmiah semacam tulisan yang bisa memerkaya dimensi kemanusiaan kita dan menganggapnya sebagai suatu karya nyata, sedangkan esai personal tidak. Padahal, menurut Pak Frans, harus dibedakan antara tulisan ilmiah dan prosa. Esai personal termasuk ke dalam prosa yang jelas-jelas berbeda dengan tulisan ilmiah.

Saya ingat suatu saat diajak teman ke rumah seorang dosen arsitektur Universitas Parahyangan. Ketika teman saya menyebut nama suami, ia terkejut sekaligus senang. Ia sampai berkali-kali berucap "Puji Tuhan" karena ternyata selama ini ia menyimpan file-file tulisan suami yang dulu biasa menuliskan hal-hal personal di sebuah mailing-list, dan mendokumentasikannya dalam komputernya dengan nama file sama dengan nama suami. Ia berkata sangat suka dan terinspirasi dengan tulisan-tulisannya. Sering kali ia membaca esai-esai personal yang hanya sekadar tulisan pribadi. Menurutnya, esai-esai personal yang bagus akan sanggup menggugah kesadaran orang lain. Ia sampai merasa perlu berterima kasih, bahkan menghadiahkan kereta api mainan yang sangat bagus untuk anak saya. Setidaknya, saat itu saya tahu besarnya pengaruh esai personal pada diri seseorang. Pernah saya membaca buku yang menurut saya adalah contoh kumpulan esai-esai personal yang bagus. Penulisnya Miranda Risang Ayu, seorang dosen jurusan hukum yang mengajar di Universitas Padjajaran. Bukunya berjudul Cahaya Rumah Kita (Bandung: Mizan, 1997). Saya membacanya tanpa berhenti sebentar pun.

Buku itu seperti membuat saya bercermin, karena realitasnya sangat dekat dengan saya. Dalam salah satu kisahnya, Miranda menceritakan betapa ia merasa hidupnya lebih berwarna setelah menikah. Namun, ia yang tak pernah berpengalaman mengerjakan tugas-tugas rumah tangga merasa terpukul ketika air yang dijerangnya gosong! Bayangkan betapa ia tak terbiasa bahkan untuk menjerang air dengan benar. Itu menggelikan bagi saya, membuat saya tergelak-gelak sampai keluar air mata. Tak dinyana, ia yang waktu itu sangat terkenal di kalangan teman-teman mahasiswa karena kehebatannya menari sekaligus kebaikannya menerima teman-teman di rumahnya yang selalu terbuka itu pernah sekali dalam hidupnya gagal menjerang air minum. Itu membuat saya sadar bahwa yang namanya manusia, meskipun perempuan yang biasanya lazim dengan urusan rumah tangga sederhana (apalagi menjerang air), ternyata ada yang tak mampu melakukannya, entah karena tak biasa atau karena telah terlalu terbiasa dengan kemudahan. Esai personal bagi saya adalah sebuah karya nyata, karya yang jujur.

Jika saya menulis esai, biasanya yang pertama ada di benak saya adalah pengalaman. Pengalaman hidup yang saya refleksikan dalam bentuk olahan kata-kata menjadi kisah yang hidup dan berdimensi. Sungguh tidak pernah mudah bagi saya mengaitkan refleksi itu dengan lingkungan sekitar sehingga dapat menjadi karya yang bisa dinikmati. Maka saran Pak Frans agar saya rajin menulis diari untuk memermudah proses kepenulisan saya benar-benar membantu.

Saya rasa itu salah satu cara terbaik agar saya tidak lupa. Kadang-kadang terjadi, saat mengalami sesuatu menarik yang ingin saya bagi, ternyata waktu dan pekerjaan rutin menghapusnya dari ingatan. Menulis diari setiap hari adalah cara terbaik yang bisa menjadi jalan keluar agar pengalaman yang terjadi dapat terekam dengan baik. Hal paling membahagiakan tentu saja ketika tahu bahwa beberapa orang yang saya kenal menyukai esai-esai-esai sejenis. Mereka menyukainya karena itu jujur, tanpa pretensi menggurui. Bagi saya, esai personal memungkinkan orang untuk bisa lebih jujur dan terbuka, setidaknya terhadap diri sendiri. Sungguh merupakan berkah bagi saya berada di Jakarta kemarin malam. Saya bertemu, berbincang dan merasa bahagia bersama orang-orang yang tulus mensyukuri kemenangan juga mendorong saya untuk terus menulis, terus berkarya. Berbincang-bincang dengan teman-teman baik itu amat melegakan, membahagiakan. Namun, tak terasa waktu terus berjalan. Musik kian bising. Perbincangan semakin membutuhkan konsentrasi, padahal sejak tiba saya belum sempat beristirahat.

Seusai acara saya masih mengobrol dengan dua teman baik yang sengaja datang dari Bandung. Kebahagiaan saya sukar dilukiskan. Barangkali karena itulah, di penghujung acara saya sempatkan sebentar mengeluarkan air mata yang saya tahan-tahan sejak lama. Sampai larut malam kemudian, setelah makan bersama dua teman baik, saya kembali ke Cikini. Di penginapan kecil yang nyaman dan bersih saya harus berpisah dengan keduanya. Sambil menyikat gigi dan berkumur, di depan westafel kamar mandi yang sudah tua saya saksikan wajah saya tersenyum bahagia. Malam itu saya tidur pulas tanpa mimpi apa pun dengan orang-orang terdekat di samping saya. Kalau boleh biarlah malam itu terjadi lagi, suatu hari nanti. Pengalaman selalu mahal harganya, terima kasih pada semuanya.

Septina Ferniati, penerjemah, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung

Sastra yang Malas
di Tengah Gairahnya Penerbitan Buku Sastra Indonesia
Sumber : Warta IKAPI Jakarta , September-Oktober 2004

Di tengah maraknya penerbitan buku-buku sastra, baik sastra untuk anak-anak, remaja, dan dewasa berupa novel, puisi, maupun kumpulan cerpen serta buku-buku fiksi bertema Islami, tiba-tiba muncul sebuah buku baru yang judulnya provokatif dan sepertinya kontradiktif dengan keadaan sebenarnya, yaitu Sastra Yang Malas. Buku ini diterbitkan Penerbit Tiga Serangkai, ditulis oleh Donny Anggoro, seorang esais muda. Buku obrolan sepintas lalu tentang perkembangan dunia sastra mutakhir ini berisi 19 esai-esai pendeknya yang sebagain besar dipublikasikan di media massa dan forum diskusi. Benarkah dunia sastra sastra saat ini sedang malas?

“Buku ini saya tulis maksudnya hanya untuk peringatan bahwa di tengah gairahnya perbukuan Indonesia, terutama penulisan buku fiksi dan sastra, sebetulnya masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai,” demikian Donny mengemukakan tujuan penulisan buku ini.
Pekerjaan rumah yang ia maksudkan itu antara lain banyak kekayaan eksplorasi penulisan sastra yang tidak digali dengan benar. Contohnya, dulu kita punya penulis fiksi ilmiah semacam Djokolelono, tapi sekarang tidak ada lagi. Seandainya ada pun tak pernah terekspos. Kemudian dalam prosa liris dulu kita punya ‘jagoan’ seperti F.Rahardi dan Linus Suryadi AG, namun sekarang tidak ada yang melanjutkan.

Dalam buku ini, Donny menyinggung tentang ‘kemalasan’ kritikus sastra yang hanya mengulas karya-karya yang dilegalisasi oleh media massa besar, atau pun kalau ada nama baru, ia pasti berasal dari sebuah komunitas yangs angat mapan. “Mengapa tidak ada yang mau turun ke bawah, misalnya ke Yogya atau Bandung di mana kegiatan cultural studiesnya sudah mulai berkembang lewat bendera penerbitan yang digagas secara independen?” ujar penulis kelahiran Jakarta, November 1975 ini. Kemalasan lain juga ditunjukkan lewat karya-karya yang penulisan naratifnya kurang lancar meskipun karya itu bagus, padahal hakekatnya karya sastra adalah cerita sehingga hanya bertumpu pada eksplorasi bahasa. Hal ini tidak disalahkannya, tapi kalau semuanya menulis ke arah itu, mau ke mana masa depan sastra kita, demikian ia memertanyakan.

“Apalagi sekarang ini kita sedang dilanda penerbitan buku-buku novel bertema seks. Saya bilang itu tidak apa-apa, tapi mengapa lebih banyak? Padahal masih banyak tema lain yang bisa digali. Jadi lewat buku ini saya mengingatkan kita jangan terlena, karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam dunia kesusasteraan Indonesia, “ ujar Donny. (bjs)

Koran Tempo, 10 Januari 2004

Antologi Puisi Padang Bunga Telanjang
Gado-gado, Cinta Sunyi, dan Kelelawar


Dalam pengetahuan publik yang minim, pelbagai komunitas dan kantong-kantong budaya terus tumbuh. Terbitnya antologi PBT adalah salah satu buktinya.

JAKARTA- Di bawah iringan saksofon, mahasiswi IKJ Yolla dan dua gadis kawannya menari di sudut ruang baca Pusat Dokumentasi HB Jassin, TIM, Jakarta Pusat, yang disulap jadi panggung mini dilengkapi puluhan bunga yang digantung di langit-langit. Gerakannya menampilkan tari kontemporer yang lembut. Interpretasi atas puisi Catatan Senja di Bawah Hujan karya A.Badri AQT itu berlangsung selama lima menit.

Pentas tari tersebut mengawali "Diskusi dan Gelar Sastra" peluncuran antologi puisi Padang Bunga Telanjang (PBT) pada Kamis (8/1) kemarin. Antologi sajak-sajak pilihan A. Badri AQT, Sihar Ramses Simatupang, dan Yonathan Rahardjo ini berisi 40-an puisi yang dicetak 100 eksemplar. Bertindak sebagai pembahas, penyunting beberapa buku, Donny Anggoro, dengan moderator Martin Aleida. Di sela diskusi, ketiga penulis membacakan masing-masing satu sajaknya.

Dalam pengetahuan publik yang minim, pelbagai komunitas dan kantong-kantong budaya dalam tiga tahun terakhir ini terus tumbuh. Di satu sisi menunjukkan indikasi kegairahan ekspresi. Pada sisi lain merupakan pencarian identitas yang tak cukup ditampung komunitas yang sudha mapan. Entah sang seniman dalam posisi marginal (termarginalkan) atau posisi yang sudah menjadi bagian dari hegemoni, karya baru terus bermunculan.
Terbitnya antologi PBT ini salah satu buktinya. Dalam pengantarnya, Badri menulis Rumpun Jerami bermula dari anjangsana dua kawan lamanya itu pada Lebaran, Desember lalu. Dari obrolan ringan, ketiganya ingin membuat antologi puisi. Dipilihlah Rumpun Jerami sebagai nama wadah keberadaan mereka.

Menyelami sajak yang terkumpul dalam antologi PBT, Donny Anggoro memilih tidak membandingkan karena sangat berbeda gayanya masing-masing. Pada sajak Badri, terlihat tak lepas dari pengaruh idolanya, Chairil Anwar. Boleh dibilang kecenderungan konsisten pada rima, sajak-sajaknya terlihat sebagai konsumsi panggung, bukan pada renungan.
Pada sajaknya, rima yang umum terlihat adalah bagian seperti senja, kelabu, dinding, atau ruang. Lihat misalnya, sajak Menuju Petang. Sajak-sajaknya yang lain, seperti Ruang, Sajak Antara Batu, dan Sajak Pejalan Kaki menunjukkan keunggulannya mengolah rima. Bisa jadi meski tak tergoda bermain metafora, ia cenderung mengolah kata-kata saja dari konteks semantik dari beberapa rima yang umum.

Pada sajak-sajak Sihar Ramses, Donny melihat adanya suasana campur aduk antara suasana liar, kemuraman, kesunyian yang terjadi atas pengalaman-pengalaman hidup. Uniknya semua suasana ini selain berhasil diolah dalam kecermatan puitiknya, ia juga mampu meramunya ke dalam bingkai wacana bernuansa prosais.

Hal tersebut bisa dilihat pada puisi Gagap Burung Camar di Sisi Jendela, Kelelawar, Surat Duka buat Kuta, dan Kebun Raya Bogor. Kata dan makna individual serta kata dengan makna publik dari puisi tersebut begitu tampak apalagi diolah dnegan imaji puitik yang menarik. Namun, beberapa sajak lain kurang menunjukkan kekuatannya dalam wacana puitik, misalnya Bahasa Malam kepada Batu atau Dalam Pelukan Dua Kota.

Sementara itu, pada sajak Yonathan Rahardjo terdapat ciri kebermainan seperti mengarah pada puisi mbeling disebabkan pemilihan tema dan kata yang sederhana. Contohnya, Air Kali, Gambir, atau Cuek. Namun, terkesna kurang jenaka karena kebanyakan kurang digali dengan cermat, misalnya Gado-gado. Ketika muncul bait: menyusuri lembut dini/buka mata lihat cuaca bobot mbelingnya melorot, bahkan kejenakaannya lenyap.

Memasuki sesi tanya-jawab, Viddy AD menyebut ketiga penulis sajak itu belum mampu menundukkan kata-kata. "Struktur puisi, walau masih absurd, belum enak dibaca. Saya sering mengalami stakato (tersandung-sandung), terutama pusi Yonathan. Baca dalam Gado-gado, saya tidak menemui struktur yang jelas," kata Viddy.

Ketika diskusi agak melenceng dengan ketiga penulis angkat bicara "membela" karyanya, seorang penanggap, Maruli Simbolon memprotes. "Mestinya ketika karya dibahas, penyair tidak perlu membela. Penyair sudah mati karena karyanya sudah merupakan milik publik," ujarnya.

A. Badri AQT berangkat dari komunitas seni panggung yang berpijak pada pelbagai ajang pembacaan dan kejuaraan deklamasi. Alumnus Sinematografi PPH Usmar Ismail ini sajak dan cerpennya pernah dimuat di mingguan Mutiara, Anita Cemerlang, dan SKM Inti Jaya. Sedangkan Sihar Ramses Simatupang hadir dari pendidikan sastra akademis yang sesekali mencecap budaya manggung lewat teater dan pembacaan puisi. Sehari-harinya ia adalah jurnalis sebuah harain sore nasional. Boleh jadi dari kubangan profesinya, puisi-puisi Sihar cukup cermat kala bicara tentang perjalanan atau kenangan sebuah kota. Sedangkan Yonatahan Rahardjo dari latar belakang pendidikan kedokteran hewan yang sesekali mencecap nikmatnya bersajak.


Kegagalan Indah

Menyimak keseluruhan karya puisi dalam PBT, Donny melihat belum sepenuhnya berhasil menunjukkan kekuatan tersembunyi secara puitik. "Saya dapat memakluminya karena dalam puisi kata-kata dicoba direbut dari asalnya di hadapan publik untuk ditampilkan," katanya.
Dalam antologi PBT, menurut Donny, yang mengutip istilah novelis William Faulkner, beberapa hal layak dicatat sebagai "kegagalan indah". Pertama, kebanyakan sajak PBT berhasil menciptakan ruang lain yang lepas antara penyair dan karyanya. Kedua, mampu berkomunikasi dengan ruang pembaca tanpa pretensi menjadi karya keminter (sok pintar).

Lebih jauh Donny juga melihat secara wacana ketiganya masih kurang. "Karena kebetulan saya tahu persis munculnya antologi ini secara bacaan kurang. Tidak semuanya berhasil sebagai seniman yang sedang melakukan diskursus individual. Tetapi, lebih pada sajak dan puisi panggung, " ujar Donny menyebut Badri sebagai orang panggung yang kuat.
Dalam kaitan tersebut, kita ingat Budi Darma, dalam esai Solilokui (1984) pernah mengkhawatirkan sikap sastrawan yang jauh daria spek kreativitas. Ia galau bukan pada persoalan seputar kreativitas pribadi, melainkan lebih pada konteks keakuannya. Celakanya, karya-karya yang dianggap "berhasil" pada masa kini bukan pada mutu estetik, melainkan sibuk merebut posisi sosial politiknya. * dwi arjanto


Tabloid Hallo Sayang, Jumat, 7 Februari 2003
Apresiasi, h.9

Kesuksesan Golan-Globus,
Berawal dari Kakus

Hallo Sayang, Diskusi

Menahem Golan dan Yoram Globus meruapakn produser kenamaan Hollywood. Di era 1980-an di bawah bendera cannon Films, duet paman-keponakan ini menghasilkan film-film lga, jaminan laris. Sebutlah Charles Bronson (Death Wish), Chuck Norris (Missing In Action),
Sylvester Stallone (Cobra, Over The Top), Jean Claude Van Damme (Bloodsport) serta film-film ninja yang dibintangi aktor Jepang Sho Kosugi, sampai serial American Ninja.

Demikianlah topik diskusi yang bertajuk Golan & Globus: From Toilet to Success, yang diselenggarakan komunitas Musyawarah Burung di Galeri Manca, Gedung Dua8, Kemang, Jakarta, Minggu (2/2). Diskusi rutin bulanan yang baru dimulai awal tahun ini menampilkan Donny Anggoro sebagai pembicara tunggal dipandu Ekky Malaky selaku moderator. Untuk diskusi berikutnya, akan dilangsungkan 1 maret mendatang (13.00-16.00 WIB) di tempat yang sama dengan topik Perkembangan Perfilman islam di Iran yang menampilkan Ekky Malaky sebagai pembicara.

"Sebenarnya, Golan-Globus adalah duet produser paman dan keponakan yang sudah cukup kondang di negeri asalnya, Israel. Menahem Golan, lahir di Tiberias, Israel tahun 1929. Keponakannya, Yoram Globus, lahir tahun 1941. Sebelum hijrah ke Hollywood kedua bersaudara ini berhasil mengangkat perfilman Israel lewat film Kazablan, Operation Thunderbolt dan Lemon Popsicle di tahun 1970-an. Ketiga film ini sangat populer di Israel dan beberapa negara lain di Eropa," jelas Donny Anggoro.

Mereka berhasil memperkenalkan perfilman Israel lewat kesuksesan Operation Thunderbolt –yang dibintangi aktor Jerman Klaus Kinski- menjadi nominator Academy Award kategori film asing terbaik tahun 1977. Kendati demikian, publik Amerika masih mengacuhkan. Sehingga film tersebut gagal di pasaran AS. Akhirnya, selama tahun-tahun pertama duet paman dan keponakan ini hanay menagguk keuntungan 8 juta dolar AS dari produksi Kazablan, The West Side Story, dan Operation Thunderbolt.

Bertemu "Malaikat Keberuntungan"

Tahun 1979 Golan dan Globus hijrah ke Amerika dengan maksud melebarkan sayap di Hollywood. Tahun 1983, lanjut Donny, Golan mengadakan pertemuan dengan Sam Arkoff, seorang raja film schlock. Schlock adalah istilah lain dari jenis film eksploitasi seks dan kekerasan atau dikenal pula dengan sebutan b-movies (bad movies). Sebelum kodnang, Francis
Ford Coppola pernah berkecimpung dalam produksi film'b-movies'.

"'Raja' film jenis seperti ini jauh sebelum Golan-Globus naik pamor adalah Dario Argento, produser Italia yang terkenal memproduksi film horor dan Roger Corman, salah satu 'guru' Menahem Golan ketika mengawali karir filmnya di Hollywood bersama Francis Ford Coppola. Adapun Coppola sendiri sebelum tenar pernah berkecimpung dalam produksi film porno dan 'b-movies'," ujar redaktur situs sastra Cybersastra.net ini.

Menurut Donny, semenjak mengenal Sam Arkoff, Golan sering curhat padanya, soal skenario-skenario yang ditawarkannya kepada perusahaan film Hollywood tak pernah digubris. Perjumpaannya dengan Arkoff membuahkan hasil. Golan berhasil memperoleh pinjaman modal sebesar 75 ribu dolar AS. Dengan bantuan pinjaman modal dari Arkoff, Menahem Golan dan Yoram Globus kemudian membeli studio kecil bernama Cannon yang pada waktu itu sedang dalam keadaan sekarat. Nasib Cannon mulai terangkat setelah memproduksi Death Wish 2, The Last American Virgin dan Enter The Ninja pada periode 1980-1982.

Kurun 1984-1986 Cannon Films berhasil membukukan keuntungan dengan memproduksi sekitar 23 judul film per tahun. Diantaranya Missing In Action (yang dibuat sampai 3 jilid), Invasion U.S.A, Breakdance, Breakdance'2 Electric Boogaloo, Lifeforce, Delta Force, dan Death Wish 3. Untuk tahun 1986 saja Cannon berhasil memproduksi sebanyak 43 judul film. "Pada masa itu nyaris tiada perusahaan film besar macam Twentieth Century Fox atau Warner Bros menandingi jumlah produksinya," ungkap Donny. (eko)


Kreativitas Dalam Ruang Terbatas
Esai Agustinus Wahyono *)

Cybersastra.net, Rabu, September 18, 2002


“Kenape elo-elo kemaren kagak ikut lomba menulis cerpen mini?”

“Wah, aku sih nggak bisa bikin cerpen sepanjang dua halaman dengan spasi ganda. Terlalu sempit. Bikin ide-ide terjepit dan jadi sulit. Aku biasa bikin sepanjang 6-8 halaman kertas A4 ketik spasi ganda dan ukuran font 12. Yah, batasan cerpen media cetak-lah.”
“Saya lebih suka cerpen yang mengabaikan batasan halamannya. Di situ saya bisa asyik membuat deskripsi-deskripsi agar terasa komplet. Lebih puas. Cerpen-cerpen saya malah bisa lebih 15 halaman lho.”

***

Perbincangan tiga orang diatas merupakan secuil realitas yang berseliweran di antara beberapa kalangan penulis cerpen. Hal yang menjadi menarik serta entah mengapa, rupa-rupanya permasalahan keterbatasan (baca: dibatasi) ruang tata cerpen media massa cetak (koran, majalah non-sastra), masih menyisakan polemik (polemik usang?).

Dalam esai “Potret Diri Cerpen Indonesia : Sebuah Kreativitas Yang Terbelenggu” Donny Anggoro menulis, “Sayang, tak banyak yang menyadari kondisi semacam ini justru tidak sehat. Para cerpenis pun calon sastrawan akhirnya berlomba-lomba menulis cerpen sebanyak lima-delapan halaman sesuai ruang yang tersedia di koran. Akibatnya kemampuan estetis mau tak mau harus rela berkompromi atau kasarnya terbelenggu oleh penulisnya sendiri demi memenuhi syarat pemuatan. Ide-ide cerita dengan diilhami peristiwa-peristiwa aktual di media massa tak dapat dipungkiri lagi bak ‘resep jitu’ demi menembus birokrasi sastra koran. Akibat lainnya lagi perkembangan cerpen Indonesia surut dari gaya bertutur panjang yang mau tak mau harus kita akui telah dialami hampir semua cerpenis kita.” (Galeri Esai, www.cybersastra.net, 22/8/2002)

Serta-merta tulisan Donny Anggoro tadi disergap oleh Ibrani (dari Cilangkap) dalam Buku Tamu www.cybersastra.net (18:14:40, 23/8/2002). “Beh, gua baca esai (Donny) Anggoro, mau kentut. Dia persoalkan lagi batas cerpen koran, tetek bengek yang tidak penting itu. Bung Anggoro, ente kan tahu Graffiti Imaji (antologi cerpen pendek bersama terbitan Yayasan Multimedia Sastra, yang membatasi kiriman karya sepanjang 2 halaman A4 dan diketik dengan spasi 1,5 – Pen.). Nah, di sana (dalam antologi tersebut) tuh seharusnya ada ekplorasi kata. Jadi tak menuduh ruang koran yang semena-mena, harus 8-7 halaman,” sergah Ibrani.

Batasan Ruang Menebas Kreativitas?

Umpama saja ada seorang mahasiswa hendak menata perabot dalam kamar indekosnya yang berukuran 3x3 m2 dan ketinggian plafonnya 3,5 m2. Perabotannya adalah perabotan standar, seperti tempat tidur, meja belajar, rak buku dan lemari pakaian. Mungkin ditambah dengan karpet, keset dalam, tempat menampung segalon akua, televisi, tape recorder, komputer, akuarium, dan tempat sampah.

Kehidupan di indekosan memang berkegiatan tidak terbatas dengan perabotan itu saja. Si mahasiswa kos ini masih melakukan kegiatan lainnya, dan otomatis membutuhkan ruang-ruang lainnya. Misalnya kamar mandi, ruang jemur pakaian, ruang makan, ruang tamu, garasi kendaraan, tempat olahraga dan lain-lain. Namun, mungkinkah ruang berukuran 3x3 m2 tersebut bisa diutak-atik lagi agar bisa mengakomodasi ruang-ruang tambahan tersebut?

Seumpamanya, suatu hari mahasiswa itu disodori lahan kosong seluas 30x30 m2 yang siap dibangun sebuah rumah. Ia diberi kebebasan dalam merencanakan, merancang, membangun dan menghuninya.

Di sini ia diperhadapkan pada pilihan, kamar kos seluas 3x3 m2 ataukah menerima tawaran lahan kosong tersebut. Untuk bisa leluasa berkreasi menata ruang-ruang tambahan tersebut, jelas ia akan memilih lahan kosong yang siap dibangun rumah dan ia bisa merancang rumah semacam apa yang akan dibangunnya. Baginya, rancangan rumah tersebut lebih asyik daripada ruang indekos berukuran 3x3 m2.

Antara kamar kos yang berukuran standar dan lahan kosong siap bangun, sebagian orang juga lebih menyukai luas lahan yang siap dibangun beserta rancangan rumah. Apalagi kalau biaya rancang-bangunnya gratis. Sebab, dengan begitu ia bisa leluasa mengeksploitasi kreativitasnya. Lantas, salahkah pemilik kos yang hanya menyediakan lahan 3x3 m2 untuk indekos?

Kreativitas Menebas Batasan Ruang

Perumpamaan kamar kos dan lahan kosong terhadap kreativitas mahasiswa kos dalam menata isi kamarnya tersebut mirip juga dengan realitas ruang cerpen dalam koran. Ruang yang disediakan koran untuk cerpen berkisar antara 4 – 8 halaman kertas A4 dan diketik spasi ganda. Dan, dalam lembar tersebut, semisal rubrik “Seni” atau “Budaya”, biasanya juga tersedia ruang untuk esai atau kritik seni/sastra/budaya, serta (mungkin) puisi/pantun. Sedangkan, lahan kosong itu bisa diterjemahkan sebagai buku kumpulan cerpen atau antologi cerpen pribadi yang tidak membatasi geliat kata-kata.

Seorang cerpenis harus pandai mengolah ruang standar yang disediakan oleh koran. Dengan luasan ruang standar tersebut, sepatutnya ia betul-betul bisa mengisi ruangan secara fungsional dan padat tanpa melupakan unsur estetika. Justru dalam keterbatasan ruang itulah ia tertantang untuk memaksimalkan kreativitasnya.

Siapapun sah-sah saja membuat cerpen (bukan cerber maupun novelet) lebih dari 15 halaman kertas folio dan diketik spasi ganda, atau 30.000 hingga 50.000 kata. Tetapi, jangan serta-merta menghujat koran atau majalah umum yang tidak bisa memuatnya. Dan, kalau koran atau majalah umum hanya mematok 6-8 halaman lantaran luas ruang terbatas, apakah sebutir cerpen bisa dikategorikan “cerpen prematur” bahkan “cerpen cacat”, atau koran dituduh telah dengan sengaja dan semena-semena memasung kreativitas cerpenis?

Dalam antologi cerpen bersama Graffiti Imaji, para tim editor - yang terdiri atas Sapardi Djoko Damono, Yanusa Nugroho, dan Anna Siti Herdiyanti - berpendapat, “Hal lain yang bisa dimasalahkan dengan cerita pendek adalah hubungan keterbatasan ruang dengan gagasan, informasi, deskripsi, analisis, atau apalah namanya. Dibandingkan dengan novel, jumlah kata yang bisa dimainkan, atau dipermainkan oleh si pengarang sangat terbatas. Apakah dengan keterbatasan itu ia sanggup, misalnya, membuat deskripsi tokoh yang meyakinkan? Atau menciptakan suasana yang mencekam? Atau menguraikan masalah dengan secermat-cermatnya? Seorang sastrawan harus mengusahakan kemampuan untuk menyampaikan hal penting dalam beberapa patah kata saja.”

Hal senada dituturkan oleh Subagio Sastrowardoyo yang menulis pengantar dalam kumpulan cerpen “Kado Istimewa” pilihan Kompas, “Cerpen harus sanggup menyelesaikan cerita dalam rata-rata lima-tujuh halaman ketik. Masalah dasar bagi penulis cerpen ialah bagaimana di halaman ketik yang terbatas jumlahnya menayangkan kehidupan yang berdimensi dan membuahkan cerita yang berbobot. Kesempitan bidang cerpen membekas pada penonjolan-penonjolan beberapa ciri yang khas bagi dunia ceritanya yang diakrabi pengarang.”
Barangkali menarik pula ditambahkan dengan pendapat Wilson Nadeak, “Keterbatasan ruang dan kondisi dalam cerpen membuatnya harus padat isi dan makna. Sekalipun tidak mungkin suatu masalah diungkapkan secara mendalam, tetapi itu bukan berarti bahwa cerpen yang baik harus menjadi dangkal.” (Bagaimana Menulis Cerita Pendek, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1989)

Oleh sebab itu, masihkah sebagian pecandu cerpen dan pecinta sastra menghidupkan pro-kontra perihal ruang gerak cerpen dalam kolom koran yang sangat terbatas itu, tanpa membiarkan aspek fleksibelitas dan kreativitas kata guna mengatasinya?

*******
*) Agustinus Wahyono, cerpenis, tinggal di Sleman, Yogyakarta



.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home